Menjadi dosen adalah cita-citaku sejak kecil karena adanya
figure yang kuat dari sosok abah. Tak ayal jika kakakku saat ini berprofesi
sebagai seorang dosen, namun belum untuk aku. Semenjak menikah aku merantau di
tanah kelahiran suami di Palembang.
Ada harapan dari abah jika aku bisa menjadi tenaga pendidik
di perguran tinggi tempat abah mengajar. Ya, karena abah melihat prestasiku di
dua jurusan aku tempuh memperoleh predikat cumlaude. Pun sepak terjang
pengalamanku mengikuti student summit, international conference, Liasion
Officer, asisten praktikum, dan pengalaman lainnya yang meyakinkan jika aku pun
bisa menjadi dosen di kampus itu.
Rupanya benar, abah menyampaikan padaku saat usai ambil S2
dulu, salah satu pejabat di kampus memintaku untuk memasukan lamaran menjadi
tenaga dosen. Namun abah tidak seambisius itu: “kalau kamu mengajar disini
pastinya kamu jauh sama suami. Ikutlah dan temani suamimu dalam kondisi apapun”.
Disitu aku begitu terenyuh dan memutuskan untuk tetap memprioritas keluarga
dalam situasi apapun.
Hidup di perantauan sama halnya kita meninggalkan zona
nyaman, artinya kita harus mengulang dari awal kehidupan dengan lingkungan baru
dan orang-orang baru. Namun tidak patah semangatku untuk bisa memanfaatkan ilmu
yang sudah aku peroleh selama ini. Muncullah inisiatif untuk membangun biro
bersama salah satu teman yang berprofesi sebagai psikolog. Namun aku minta
untuk menambah satu personel lagi agar tim menjadi semakin solid. Bertambahlah
menjadi 3 anggota tim. 1 orang psikolog dan 2 ilmuwan psikologi.
Kita bertiga orang perantauan. Meski dua dari kami orang
Sumatara asli, namun menghabiskan seluruh hidupnya di tanah perantauan. Maka
tak mudah membangun usaha yang mana kita tidak memliki jejaring sosial sama
sekali. Munculah inisiatif untuk merambah dari komunitas ke komunitas untuk
memperkanalkan biro kami agar biro kami semakin dikenal banyak orang di kota
ini.
Namun seiring berjalannya waktu, aku merasakan ini bukan
bisnis saja. Ini adalah panggilan kemanusiaan yang sangat membutuhkan tenaga profesionalitas
untuk mengubah mindset tentang orang-orang yang mengalami gangguan mental.
Akhirnya aku pun semakin rajin menjadi sukarelawan untuk terjun ke lapangan
mendengarkan aspirasi masyarakat dari berbagai macam lapisan. Guru, orang tua,
anak-anak, mereka bahagia merasa didengarkan.
Meski terkadang mereka tidak memastikan siapakah kita.
Psikolog kah, dokter kah, atau hanya sekedar ilmuwan psikologi saja? Mereka tak
curiga. Mereka senang diperhatikan, didengarkan yang mungkin sebagian orang
nampak abai, acuh, bahkan GENGSI jika hanya sebatas menangani orang-orang
marjinal yang mungkin hanya diupah dengan peluh keringat bercucuran.
Panggilan “membantu” ini lah yang memuat jiwa dan ragaku
mengalir di biro ini. Terlebih saat rekan kami yang psikolog sedang banyak jam
menangani klien, kami membantu hal yang lain agar bisa meringankan beban
pekerjaanya. Kami ikut ke rehabilitasi narkoba, kegiatan pemberdayaan
perempuan. Bercengkerama dengan orang-orang di rehabilitasi yang kadang membuat
kita tertawa, senang, bahkan sampai meneteskan air mata. Mereka juga senang
bercengkrama dengan kami. Tanpa perlu tau sebenarnya siapa kami. Psikolog kah,
ilmuwan psikologi kah, dokter kah. Mereka senang, mereka diperhatikan.
Namun terkadang tidak selamanya yang kita lihat baik
dianggap orang lain juga baik. Persaingan akan selalu ada dalam setiap
perjalanan membangun segala hal. Saat kita dengan tulus membantu orang, pasti
akan ada orang lain juga menawarkan
kebaikannya kepada kami. Yang bisa saja kebaikan itu membuat kita menjadi
dikenal dan dibutuhkan oleh banyak orang.
Terkadang kita tidak pernah ada tekad untuk menawarkan diri,
namun orang yang nyaman dengan kita lah yang memilih kita, menawarkankan segala
pekerjaan dengan kita. Jika jika hal yang ditawarkan tersebut tidak sesuai
dengan bidangku, apa lantas aku harus menerima tawaran itu? Itu sama saja
seperti masuk kedalam kandang singa. Jika bukan bidang kita, untuk apa kita
terima? Akan lebih baiknya kita tawarkan kepada rekan yang lain yang lebih
mampu.
Lalu jika suatu ketika orang menganggapku NAMPAK lebih
dikenal, dan bahkan menganggap jika aku MENGAKU-NGAKU menjadi profesi
tertentu…rasanya hati ini bagai tertusuk sembilu. Sepertinya sejak awal aku
tidak pernah merencanakan itu. Apa yang kulakukan mengalir seiring apa yang aku
alami saat itu. Aku bertemu dengan orang-orang dari berbagai macam kalangan
tanpa adanya rasa pencitraan. Semua mengalir tanpa direncanakan.
Entah kalimat apa yang pantas untuk mengungkap rasa ini.
Jujur aku menulis sambil menangis. Sembari mengingat kembali saat bercengkerama
dengan anak-anak dan para orang tua di “sekolah kecil yang tak layak”hidup di
tengah kemewahan hiruk pikuk kota. Mengingat kembali tetesan air mata seorang
mantan pengguna narkoba yang begitu rindu dengan anaknya. Lantas saat dianggap
itu sebagai hal yang dimanfaatkan…
HATIKU HANCUR
Terlebih banyak hal yang selalu mengingatkan jika keluarga
adalah yang akan selalu menjadi nomer satu. Untuk apa banyak membantu orang
namun keluarga hancur berantakan. Jika itu terjadi, rasanya semua akan sia-sia.
Aku begitu bersyukur selalu diingatkan begitu berharganya
tim yang selama ini jatuh bangun berjuang di biro ini, meski terkadang orang di
luar sanalah yang memberikan ketidak kenyamanan dalam bertugas. Yang membuatku
untuk memutuskan untuk bekerja secara internal saja.
Semenjak mencuat kasus DS, pasti semua magister sains pernah
merasakan hal yang sama. Namun tidak semua ilmuwan psikologi disamakan dengan
DS. Kami masih banyak yang waras. Yang berjuang untuk tidak memanfatkan titel
lain untuk meraup keuntungan. Dan selama ini belum ada senyata ini mampu
bersuara.
Tidak benar jika pekerjaan kemanusiaan masih harus dikotak-kotakan ranah siapa dan siapa. Semua punya tugas mulia menolong yang membutuhkan. Namun jika merasa ilmuwan psikologi tidak boleh andil menjadi praktisi, silahkan saja keteteran mengurus seorang diri dengan kesibukan mengurus klien tiada henti.
Harusnya semua saling bersinergi satu sama lain. Ilmuwan bisa bantu terjun ke lapangan. Psikologpun juga. Tentunya kami tidak sampai lancang melakukan hal diluar batas kami sebagai ilmuwan. Intervensi di tangan psikolog. Tapi tugas mensosialisasikan mental health adalah tugas bagi semua tenaga profesional yg bergerak di bidang mental. Note it. Tidak ada unsur menyaingi bahkan mengaku-ngaku
Tidak benar jika pekerjaan kemanusiaan masih harus dikotak-kotakan ranah siapa dan siapa. Semua punya tugas mulia menolong yang membutuhkan. Namun jika merasa ilmuwan psikologi tidak boleh andil menjadi praktisi, silahkan saja keteteran mengurus seorang diri dengan kesibukan mengurus klien tiada henti.
Harusnya semua saling bersinergi satu sama lain. Ilmuwan bisa bantu terjun ke lapangan. Psikologpun juga. Tentunya kami tidak sampai lancang melakukan hal diluar batas kami sebagai ilmuwan. Intervensi di tangan psikolog. Tapi tugas mensosialisasikan mental health adalah tugas bagi semua tenaga profesional yg bergerak di bidang mental. Note it. Tidak ada unsur menyaingi bahkan mengaku-ngaku
Terimakasih pelajaran berharga saat ini. Aku merasa semakin
tangguh.
Huhuhu aku terhau biru bacanyaa. . Makasih ya udah berkontribusi besar buat lentera
ReplyDeleteSemangat, Kak Aya! Fokus ke kebaikan hatimu yaa.
ReplyDelete