Friday 4 May 2018

PILIH PRO VAKSIN ATAU ANTI VAKSIN?


Baiklah, berhubung semua udah pada penasaran mengenai pro kontra vaksinasi saya akan coba mereview dari beberapa referensi buku dan jurnal yang saya baca. Tapi harus tau dulu ya latar belakangnya kenapa saya duper penasaran mencari tau tentang ini, supaya kalian tahu bahwa saya bukanlah seorang dari latar belakang dari sayap kanan maupun sayap kiri.

Saya memposisikan diri saya sebagai kubu netral karena saat ini saya sedang ingin mencari tahu kebenaran diantara keduanya. Saya memang ikut imunisasi sampai saat ini. Baru sekedar ikut karena memang dianjurkan pemerintah tapi belum banyak mencari tahu tentang manfaat dan mudharat vaksin. Namun, muncul beberapa isu terkait bahaya vaksin dan para antivaksin yang mulai merajalela di sosial media. Saya sendiri sangat menghargai pendapat masing-masing orang, baik yang pro vaksin maupun yang anti vaksin. Namun setiap ada informasi yang diperoleh, ada baiknya kita wajib mencari tahu kebenaran dari setiap berita. Apalagi berita yang diterima tidak banyak mencantumkan referensi yang kuat. Bukankah sudah tertera dalam QS. Al-Hujarat ayat 6: “ hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengikuti keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu.”

Disini saya akan mengutip beberapa statemen dan informasi mengenai kontroversi vaksin dan tanggapan saya mengenai hal tersebut:

1.  Beberapa statemen yang menyatakan anak mereka cenderung lebih sehat tanpa menggunakan vaksin. Anak yang diberi vaksin cenderung rentan terkena sakit dibandingkan anak yang tidak diberi vaksin.

Dari statemen ini, yang wajib kita kritisi adalah apakah penyataan tersebut bukan subjektif dan didukung oleh data-data yang objektif? Seperti layaknya suatu penelitian, kita harus tahu validitas informasi yang diketahui. Semisal jika seorang menyimpulkan hasil penelitianya dengan membandingkan anak pertama dan anak kedua saja tentu saja hal tersebut mempunyai banyak ancaman validitas. Bisa jadi anak pertama dan kedua memiliki riwayat kehamilan yang berbeda meskipun dibesarkan dalam lingkungan yang sama. Belum lagi pengalaman orang tua mendidik anak pertama dan anak kedua, misalnya saat anak pertama orangtua cenderung lebih mawas dan berhati-hati, sehingga merasa sakit sedikit anak segera diobati misalnya. Maka dari itu pentingnya kita mencari tahu data yang akurat seperti jurnal penelitian sehingga kita tahu beberapa sampel yang digunakan dalam penelitian tersebut dan lain-lain.

Selain itu, bisa jadi anak yang tidak divaksin tersebut tidak terkena penyakit karena terlindungi dari sekelompok anak yang divaksin. Jadi analoginya vaksin merupakan payung dalam sekelompok orang/komunitas yang memberi manfaat proteksi bagi sekelompok orang apabila mayoritas kelompok tersebut divaksin. Istilah tersebut dikenal dengan herd immunity (Ismail, 2014).
2.      Kurang lebih 7 orang dari jurusan S1 medis (contoh kedokteran, keperawatan, kesehatan masyarakat, dll) yang saya tanya apakah vaksin dikaji lebih spesifik saat perkuliahan, atau sering dijadikan penelitian skripsi dll? mengingat vaksin merupakan rutinitas yang selalu ada di setiap waktunya. Sayangnya informasi yang saya peroleh masi berupa kajian pengantar. Saya mulai curiga dan penasaran. Jika saya tidak mencari tahu mungkin saya mengasumsikan bahwa vaksin hanya bisa diteliti oleh pihak tertentu dan dirahasiakan.

Daaan ternyata saya baru tahu, bahwa imunologi bukan suatu hal yang mudah dipelajari, bahkan tidak semua dokter mampu menjadi ahli di bidang ini. Itu sebabnya seorang dokter yang gagal mempelajarinya akan menentang vaksin tersebut (Nugraha, 2014). Ingat ya, tidak semua dokter ahli di bidang ini, lalu bagaimana kita bisa mempercayai seseorang yang bahkan bukan dari latar belakang medis dan baru belajar beberapa bulan bahkan hari?

2. Vaksin berbahaya karena pengawetnya terbuat dari mercury. 

Bahkan vaksin menjadi salah satu pemicu anak menjadi autis, karena pemicu autis bukan dari faktor kehamilan saja, bahkan bisa juga dari faktor lingkungan seperti saat kecil teracuni logam berat. Seperti kasus di Jepang yang 1 kampung mengalami gila karena makan ikan dari laut yang sudah tercemari limbah pabrik yang mengandung logam berat dalam konsentrasi yang tinggi.
Jawaban dari statemen diatas sangat mudah kita bantah karena sudah sangat jelas terlampir dalam jurnal yang pernah saya review:
“Beberapa penelitian menunjukan bahwa perkembangan autisme disebabkan oleh beberapa faktor. Ada beberapa indikasi dimana gangguan tersebut disebabkan oleh faktor genetik. Namun, penemuan yang paling banyak bahwa gangguan ini disebabkan oleh faktor kompleks pada masa kehamilan. Beberapa bukti menunjukan bahwa adanya luka atau kerusakan secara genetik pada tahap perkembangan awal kehamilan sehingga menimbulkan perilaku autisme (Pennington, 2002). Pada umumnya, kerusakan pada kehamilan awal disebabkan oleh virus measles-mumps-rubella (MMR). Namun studi empirik menunjukan tidak ada korelasi antara autisme dengan pemberian imunisasi. Penemuan ini menunjukan bahwa timbulnya autisme tidak berkorelasi pada vaksin MMR.”
Jika memang lapisan mercury yang bercampur vaksin berbahaya bagaimana bisa vaksin tersebut teruji secara klinis. Padahal uji klinis vaksin itu bukan hal yang mudah karena harus melewati berbagai fase agar aman atau mempunyai efek samping yang dapat ditoleransi. Selain itu, jika dikorelasikan dengan kasus di Jepang, bisa jadi Jepang sampai sekarang sudah menjadi negara Antivaksin. Sofyan dan Nurwidiya (2014) yang merupakan kepala bidang pelayanan kesehatan FAHIMA di Jepang menyatakan bahwa di Jepang sendiri sebagai negara maju mewajibkan vaksinasi bagi seluruh anak-anak, termasuk warga asing. Wajib tidaknya satu jenis vaksin berdasarkan angka kejadian penyakit di wilayang Jepang. Contohnya di jepang Hepatitis B tidak wajib diberikan, sementara di Indonesia wajib diberikan. Jadi setiap negara berbeda-beda karena disesuaikan dengan angka kejadian di negara tersebut.

3. Vaksin haram hukumnya, vaksin merupakan konspirasi dan senjata yahudi untuk melumpuhkan generasi muslim.

Kita sudah diberikan pedoman Al-Quran untuk mengeksplorasi alam semesta ini seperti dalam QS. Ali Imran 190-191. Hasil eksplorasi alam semesta itulah ditujukan untuk kebaikan umat manusia itu sendiri dan sekaligus untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. Vaksin sebetulnya sudah lama diterapkan pada muslim Turki pada abad 18 yang memiliki kebiasaan menggunakan nanah dari sapi untuk penderita penyakit cacar sapi. Hal tersebut kemudian dibawa ke Inggris, lalu diteliti dan dipublikasikan sehingga vaksin semakin berkembang pesat. Beberapa ulamapun memberikan fatwa bahwa vaksinasi diperbolehkan seperti Syaih Abdul Aziz bi Baz dari Saudi, DR. Yusuf Al-Qaradhawi ulama dari Qatar. Negara di timur tengah yang mayoritas pendudukanya muslimpun mewajibkan imunisasi di negaranya seperti Arab Saudi, Mesir, dll (Yanuarsno, 2014). Jika ada yang menuduh vaksin sebagai konspirasi, hal yang sangat perlu dicermati adalah: bisa jadi hal yang engkau percayai itu justru merupakan konspirasi “mereka” untuk melemahkan generasi kita supaya kita terus merasa ketakutan, menjadikan kita menjadi bodoh, dan malas menuntut ilmu. Itu yang menjadi garis bawah dan perlu kita renungkan

Jadi kesimpulanya setelah saya mencari jawaban dari rasa keingintahuan saya adalah apakah saya kemudian menjadi pro vaksin atau anti vaksin? Jawabanya itu merupakan keyakinan saya dan orang lain tidak perlu ingin tahu pilihan saya. Kenapa seperti itu? karena saya sadar, saya hidup dalam masyarakat kolektif, dimana kita paling suka ngikut yang paling banyak pengikutnya dan ngikut yang lagi ngetren. Kemudian itu menjerumuskan kita untuk malas cari tahu hal yang sebenarnya. Seperti QS. Al-Alaq; iqra` bacalah, cari tahulah, jangan berpangku tangan pada satu orang. Setiap orang mempunyai kesadaran untuk meluruskan berita dari orang fasiq, bukan ikut terjerumus pada kefasiqan. Apa yang saya ditulis diataspun bahkan belum tentu benar 100 persen. Maka masing-masing dari kita diwajibkan untuk banyak mencari tahu dan belajar seluas-luasnya. Usiikum Waiyaya.

Ditulis oleh:
Tsurayya Syarif Zain (bukan ahli medis. Cuman ibu rumah tangga biasa yang mereview refrensi yang diperoleh).

Daftar Pustaka;
Eric A. Zillmer, Mary V. Spiers, William C. Culbertson (2008). Principles of Neuropsychology, Second Edition. Thomson Higher Education: Belmont, USA
Jeste, Shafali (2011). The Neurology of Autism Spectrum Disorders. NIH Public Access. Published in final edited form as: Curr Opin Neurol. 2011 April ; 24(2): 132–139. doi:10.1097/WCO.0b013e3283446450.
Ismail, dkk (2014). Kontroversi Imunisasi; Kumpulan Tulisan 33 Ahli; Dokter, Pakar kesehatan, dan Pakar Syariah. Jakarta: Pustaka Al Kautsar

SILATURAHMI KOMUNITAS HOMESCHOOLING PALEMBANG


Salah satu upaya saya untuk mengatasi kestressan tinggal di lingkungan baru adalah bersosialisasi dan mengikuti kegiatan positif di daerah setempat. Setelah 2 tahun menjalani masa LDR dengan suami (saya di jawa suami di sumatera), saya kembali tinggal bersama-sama suami di kota Palembang meskipun kami sudah pindah di komplek baru, sudah tidak di komplek pertama kali kita menikah. Beberapa upaya saya untuk bersosialisasi dan ikut kegiatan positif adalah dengan cara ikut arisan RT, nemenin anak ke TPA ( meskipun nggak ngaji cuman maen aja hehe), dan mengikuti komunitas parenting yang ada di palembang. Awalnya saya sudah cari-cari info dulu sebelum pindah untuk tahu komintas apa yang sesuai dengan passion dan misi hidup saya. Akhirnya saya memutuskan untuk gabung di komunitas homeschooling, IIP Palembang, dan komunitas Playdate Palembang.



Well, saya ingin sedikit (banyak kalik haha) bercerita tentang kegiatan yang sudah mulai saya ikuti di komunitas yang saya pilih. Pertama adalah dengan gagah beraninya saya mengusulkan diri untuk menjadi tuan rumah forum silaturahmi komunitas HS palembang yang saya ikutin. Habisnya grupnya kok sepi amat yaa..gak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Gak seperti komunitas HS di Jawa ( seperti semarang dan salatiga) yang punya aktivitas yang super duper keren. Ah sudahlah gak usah banding-bandingin. Saatnya mulai dari diri sendiri hahay...

Yatsudahlah...setelah rembukan kurang lebih dua bulan lamanya, akhirnya rencana saya menjadi tuan rumahpun terlaksana. Meskipun...yang datang cuman 3 keluarga dari 15 keluarga hahahaa..gapapalah, yang penting sudah diniatkan untuk berkontribusi dan silaturahmi biar nambah temen seprinsip. Selain itu ada manfaat lain juga yaitu memfasilitasi archy untuk menambah relasi teman hehee..dan justru dari melihat anak-anak bermain itulah saya menjadi banyak belajar mengamalkan ilmu saya sebagai orang tua.

Ya, seperti yang kita ketahui bahwa setiap anak bermain selalu tidak terlepas dari keributan, berantakan, teriakan, rebutan mainan, dan pastinya adalah kebahagiaan yang selalu terpancar. Memang, pada dasarnya bermain merupakan cara terbaik anak untuk bereksplorasi, mengekspresikan emosi, sehingga anak-anak akan lebih sehat baik secara fisik maupun mental.
Okey, dari mengamati anak-anak asik kruwelan bermain itu saya dapat mengambil pembelajaran manfaat bermain dengan anak lintas usia, budaya, dan orang tua. Diantaranya adalah melatih responsibility, sense of belonging, dan social skill anak. Baiklah, kita coba deskripsikan satu persatu yaakk...
  1. Melatih responsibility. Saat anak bermain, hal yang tentunya akan selalu kita temui adalah menemukan mainan mereka berantakan dan berserakan dimana-mana. Mau itu mainanya sendiri maupun mainan milik temanya. Mari kita latih anak untuk membereskan barang yang sudah mereka mainkan supaya anak terlatih untuk bertanggung jawab merapikan kembali mainan-mainan tersebut. Baik di rumah sendiri atau di rumah orang lain, biasakan orang tua untuk ikut terlibat dalam membereskan mainanya, supaya anak-anak selalu terbiasa tidak asal nyelonong pergi dan pamit tanpa membereskan mainanya terlebih dahulu. Selain mengajarkan anak adab bertamu. meski pada dasarnya dunia anak adalah bermain, namun kita harus tetap mengajarkanya adab sopan santun dengan penuh kasih sayang
  2. Melatih sense of belonging anak. Sudah dipastikan kalo udah mainan itu selalu ada adegan rebutan maenan. Kadang ortu juga bingung mau ngebelain anaknya atau disuruh ngalah terus. Kalau saya pribadi, saya mencoba melatih Archy untuk kenal ini maenan milik siapa. Kalo bukan milik archy, archy harus ijin dulu sama yang punya. Kalo dibolehin pinjam, saya ingatkan kalo habis maen harus dikembalikan ke pemiliknya kalo diminta. Kalo gak dibolehin, saya coba alihkan dia ke hal yang lain supaya dia bisa menerima. Sebaliknya, kalo maenan Archy mau direbut temenya, saya beri ruang waktu sebentar untuk berdamai. Saya kasih arahan ke temenya yang merebut mainanya kalo ini maenan archy maka harus ijin dulu. Kalo udah dikasihkan ke Archy, saya bilang ke Archy kalo maenanya gak boleh dipinjemin saya suruh simpen maenanya ke dalam kamar atau ke dalam tas mamanya. Ada kalanya anak juga harus mempertahankan apa yang dia miliki dan ada kalanya dia bisa sharing dengan apa yang dia punya. Kelak hal terebut dapat melatih anak untuk tidak mudah terkena bully. Kalo orang tua selalu membiasakan anak buat disuruh ngalah terus menerus, maka anak akan belajar mengalah dalam segala macam hal, bahkan dalam situasi yang mengancam. Dia juga harus punya self defense untuk mempertahankan hak yang ia miliki. Maka kita sebagai orang tua harus banyak-banyak melatih diri untuk mengarahkan sense of belonging pada anak.
  3. Melatih social skill. Ada suatu cerita tentang seorang ibu yang marah ketika si anak memanggil namanya dengan sebutan kau. Si ibu bilang itu tidak sopan. “Ini nih gara-gara dia tinggal di lingkungan gak baik jadi ikut-ikutan ngomong kasar kayak temenya” Namun tiba-tiba saya mendengar bahwa justru teman anak si ibu juga selalu bilang kata “kau” ke siapapun yang ia sapa. Ternyata ibu dari anak ini memang orang asli sumatera jadi biasa saja kalo anaknya berkata seperti itu, sementara ibu yang marah saat anaknya bilang kau itu berasal dari jawa dimana kata tersebut tidak sopan untuk disampaikan. Saya mengambil pelajaran dari hal tersebut adalah orang tua semestinya tidak perlu reflek marah dengan perilaku anak yang tidak pernah ia harapkan dan bahkan tidak ia ajarkan. Orang tua mencari tau kenapa anak bisa berperilaku seperti itu. Kemudian ortu bisa menasehati kalo hal tersebut adalah budaya (termasuk bahasa) temen kakak, kalo orang tua kakak berasal dari budaya yang berbeda, jadi kakak juga harus tau kalo ibu gak suka kalo kakak bilang gitu ke ibu. Dari situ anak akan belajar makna toleransi. Jika kita saklek mengatakan salah pada anak, maka anak pun merasa bingung dimana titik kesalahanya. Belajar menjadi orang tua yang bijak, tenang, dan komunikatif merupakan kunci untuk melatih anak memecahkan masalah dan menghadapi situasi-situasi baru dalam lingkunganya.


     Well, rupanya jika kita selalu berpikiran positif, akan banyak hal yang dapat kita jadikan pembelajaran dan terus berupaya mengupgrade diri kita untuk menjadi orang tua yang lebih baik. Semoga kadepanya bisa makin bersinergi dalam kegiatan-kegiatan positif lainya.  Ditunggu tulisan kegiatan #bundaproduktif selanjutnya yaa.. yang jelas makin seru dan bermanfaat. Salam bunda produktif J