Monday 4 April 2016

THE HOLE IN THE WALL -Technology Classroom

Ceritanya tadi sore saya dapet cerita dari dosen tentang salah satu projectnya warga negara India, Sugatra Mitra. Beliau salah satu profesor di bidang education technology, New Castle University. Nama projectnya adalah “The Hole in the Wall project”.Jadi dia bikin project di suatu daerah terpencil di India, dimana mayoritas masayarakatnya berada dibawah garis kemiskinan. Bahkan banyak dari anak-anaknya gak tau apa itu Micky mouse (masih mendingan anak-anak Indonesia ya, hehehe). Dia bikin semacam dinding (kayak wartel terbuka) yang diisi dengan media komputer untuk anak-anak belajar. Komputernya bisa diakses secara online dan diisi dengan program edukatif yang bisa digunakan. Tapi Uniknya TIDAK ADA INSTRUKSI yang diberikan dalam penggunaanya. Eksperimenya dilakukan selama 6 bulan. Dan apa yang terjadi?

Anak-anak yang awalnya gak ngerti gimana cara memakainya, kini udah bisa eksplore sendiri dan mampu mengoperasikan komputer. Bahkan mereka bikin aplikasi game dan mampu belajar mandiri. Malah ada yang bilang gini “prof, aplikasinya minta diupgrade lagi ya, biar kita bisa bikin game tikus (micky mouse) yang lebih challenging. Dari project tersebut Mitra mencoba mengajarkan the power of Self Organized Learning di classroom technology (kelas yang menggunakan media teknologi dalam pembelajaran).

Dulu, awalnya saya masih kurang menyetujui jika gadget diajadikan sebagai media belajar anak karena saya kira hal tersebut menjadikan anak menjadi lost control dan cenderung addicted dengan gadget. Namun ternyata, walau bagaimanapun suatu saat nanti kita akan hidup dimana pembelajaran di sekolah sudah tidak menggunakan kertas lagi (paper less) guna menjaga stabilitas alam dari penebangan pohon, dan disitulah teknologi gadget berperan penting dalam media pembelajaran.

Kita lihat sudah begitu banyak sekolah di negara maju menggunakan technology classroom dalam proses belajar mengajar. Tapi yang kadang terlihat berbeda antara murid di singapore dan Indonesia dalam media yang sama adalah murid Singapore cenderung memiliki self regulated learning yang lebih baik dibandingkan murid Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana mereka mampu menciptakan aplikasi begitu variatif dengan teknologi dibandingkan murid Indonesia. Sebetulnya, kenapa ya kok bisa berbeda, padahal mereka menggunakan media teknologi, bahkan aplikasi di gadgetnya juga sama?

Ini berdasarkan pemaparan dosen saya yang kebetulan concern di bidang digital literacy mengenai hambatan dalam pembelajaran di Indonesia adalah: anak kurang memiliki self regulated learning( regulasi dan kesadaran meregulasi diri dalam belajar) dan tidak terjadinya meaningful learning (pembelajaran yang bermakna) sehingga anak hanya menganggap belajar di sekolah sebagai formalitas semata. Jadinya anak corioussity nya masih kurang dalam belajar sehingga mereka cenderung lebih suka nge game atau menggunakan aplikasi lain yang tidak ada kaitanya dalam pembelajaran. Tapi sebenarnya hal tersebut mampu diminimalisir apabila kita perlu memperhatikan secara detail dalam hal berikut:

1. Guru perlu menciptakan STUDENT CENTER agar anak dapat berfikir kritis dalam belajar.
Saya baru sadar ternyata model kurikulum pendidikan di Indonesia ini sudah banyak mengkikis jiwa kritis dan kreativitas anak dalam belajar. Bayangin dulu pas SD kayaknya takut banget nanya, takut dikira gak ngerti. Emang sebenarnya gak ngerti, tapi kalo nanya bakal dimarahin “kamu gak ngerti karena gak merhatiin ya?: Nah loh.. serba salah haha. Walaupun sekarang sudah banyak guru yang mulai aware dalam merespon pertanyaan anak, namun beberapa hal yang perlu menjadi stimulus agar anak mampu meningkatkan jiwa kritisnya. Salah satunya belajar secara konstruktif. Dalam pembelajaran konstruktif murid menjadi center dalam pembelajaran, bukan guru. Jadi mereka mampu belajar melalui belajar mandiri (independent learning), diskusi, belajar kooperatif maupun kolaboratif dalam sebuah kelompok.

2. BELAJAR KONSTRUKTIF pada dasarnya memandang bahwa masing-masing individu membentuk atau membangun sebagian besar dari apa yang mereka pelajari dan fahami.  Jadi sebetulnya technology classroom itu cocok banget diaplikasikan dengan model belajar konstruktif. Karena menurut teori Peaget, anak bisa melakukan tugas perkembangan secara mandiri sesuai dengan proses perkembangan kognitifnya. Kita gak perlu repot-repot memaksa anak untuk memahami teori yang kita ajarkan karena anak mampu memahami sendiri secara konstruktif. Contohnya mereka bisa belajar secara mandiri atau kelompok melalui informasi website di internet.

3. GURU HARUS MELAKUKAN EKUILIBRASI DALAM PEMBELAJARAN.  Ekuilibrasi itu merupakan proses pemulihan keseimbangan antara pemahaman sekarang dan pengalaman-pengalaman baru. Saya baru tahu loh ternyata kita bisa belajar Matematika melalui proses pembuatan film animasi. Coba cek di websitenya KHAN-PIXAR ACADEMIC. Jadi belajar kurva dari proses pembuatan animasi rumput dan lain sebagainya. Nah anak-anak pasti seneng tuh kalo pelajaranya dikaitin sama animasi yang menarik. Jadi mereka juga kepengen belajar juga deh bikin animasi dengan dasar matematika. Terus, gimana donk, ntar takutnya murid malah kebablasan dan gak ngerti tujuan pembelajaran yang akan dicapai?Itulah mengapa guru perlu mengevaluasi hasil belajar siswa, agar anak masih bisa mengkaitkan apa yang mereka peroleh dengan materi yang diajarkan.

4. MENCITPTAKAN MEANINGFUL LEARNING DALAM BELAJAR. Apa yang sering terjadi saat ada yang tanya tentang mata pelajaran SD, SMP, SMA? Kebanyakan banyak yang sudah lupa atau bisa jadi lupa-lupa inget saat menjawabnya. Padahal belajarnya kan 12 tahun? Kok bisa lupa ya? Hmm.. ini ngejawabnya agak kompleks juga hahahaa... mungkin mayoritas disebabkan oleh COGNITIVE OVERLOAD pemirsah...ya iya lah...aturan siswa Indonesia itu seharusnya menjadi anak paling pintar di dunia. Kenapa? Karena kita diwajibkan mengenyam segala macam mata pelajaran wajib yang ada di sekolah, mulai dari IPA, IPS, fisika, kimia, ah entahlah ampe lupa apa lagi saking buanyaaknyaaa. Sementara kurikulum di negara maju pendidikan contohnya Firlandia, mereka cenderung costumize curriculum. Kita boleh memilih mata pelajaran yang kita minati atau kita sukai. Gak perlu ambil semua seabreeeg kayak gituuuh...Tapi alhamdulillah, berkat ada KURTILAS dengan pendekatan tematik sehangga kita jadi bisa mengurangi Cognitive Overload dalam pembelajaran. Terus apa kaitanya sama Meaningful Learning? Jadi belajar itu bisa jadi bermakna apabila kita mampu memproses informasi yang kita terima dalam working memory di otak apabila kita bisa mengintegrasikan dengan pemahaman yang kita peroleh sebelumnya, sehingga informasi dapat bertahan dalam Long Term Memory. Pemahaman itu diperlukan pengalaman-pengalaman dan pengamatan kita secara detail tentang informasi yang kita peroleh agar menciptakan pembelajaran bermakna.

CONTOH saat belajar literatur bahasa, guru meminta anak untuk membaca tentang kisah dalam sebuah legenda. Maka anak diharapkan mampu mengambil kesimpulan atau pesan moral yang ada dalam cerita tersebut. Atau bagaimana mereka mampu menjelaskan rumus matematika dalam kehidupanya sehari-hari. Nah, di technology classroom ini sangat penting untuk bisa menciptakan meaningful learning dalam belajar. Karena apa? PEMBELAJARAN YANG BERMAKA TERNYATA MAMPU MENCIPTAKAN REGULASI DIRI DALAM KESADARAN BELAJAR. Jadi anak bisa tau mengapa dia lebih suka membuka gadget untuk hal edukatif dibandingkan dengan gadget yang tidak ada kaitanya dengan pembelajaran. Jadi ibu-ibu gak perlu khawatir kalo anak malah cenderung nge game terus daripada belajar. Bahkan anak jadi suka diajak diskusi karena apa yang mereka pelajari bukan sekedar formalitas, tetapi menjadi suatu hal yang menyenangkan.
Begitulah hasil informasi dari dosen saya yang kebetulan disertasi digital literasinya di Amerika, yang udah lama menerapkan technology classroom. So i really exited to this topic. Yang sudah berpengalaman mengajar di technology classroom, boleh donk minta saran, kritikan dan pendapatnya. Yang abis ikutan seminar tentang gadget, mau juga donk sharingnya. Semoga bisa bermanfaat satu sama lain hehehee