Saturday 12 March 2016

BIG CHALLENGE, BIG DREAM

PURSUIT OF DREAMS
Banyak orang tidak menyangka, bahwa jalan hidupnya terpaksa harus membuat impian besarnya terkubur dalam-dalam. Banyak orang bahkan harus banting setir pada kehidupan yang lebih nyata, karena menganggap bahwa impian besarnya tidak lebih dari bunga tidur semata, dan ia harus cepat terbangun dari mimpinya. Tapi bisakah kita mampu untuk mempertahankan impian besar ini walau dengan keadaan terseok-seok, terbentur fisik dan psikis dan harus tetap mampu untuk bangkit kembali?
Entah sejak usia berapa tahun, saya mendambakan untuk bercita-cita sebagai seorang pendidik. Entah spesifiknya pada profesi apa, yang penting passion saya selalu kembali untuk mengajar. Namun ketika di bangku kuliah, saya mulai memantapkan diri untuk bercita-cita sebagai seorang dosen. Namun, pada saat itu saya belum mendapatkan esensi yang sangat mendalam mengapa saya harus menjadi seorang dosen? Apa memang itu adalah minat saya, bakat saya, faktor lingkungan, atau faktor konformitas yang hanya sekedar terbawa arus dari lingkungan teman yang sebagian besar berorientasi untuk menjadi seorang ilmuwan?
Usai mendapatkan gelar sarjana pada tahun 2012, banyak yang menyarankan saya untuk segera melanjutkan di jenjang S2. Namun posisi saya saat itu masih belum lulus sarjana untuk jurusan yang satunya (kebetulan ambil double degree). Akhirnya saya tetap fokus untuk menyelesaikanya, dan mencoba kegiatan luar yang awalnya untuk bekal prestige saya sebagai mahasiswa perguruan tinggi swasta. Kenapa harus prestige? Apa yang harus diperjuangkan dari sebuah prestige?
Pada saat itu kebetulan saya terlibat dalam komunitas nasional dimana mayoritas dari mereka berasal dari mahasiswa PTN. Dan pembahasan yang selalu muncul dari benak mereka adalah, udah pernah exchange belum? Udah pernah ikutan penelitian? Pernah ikutan kompetisi apa? Udah pernah kontribusi apa slama ini? Sebetulnya pertanyaan tersebut memacu diri saya untuk menunjukan bahwa mahasiswa PTS juga mampu bersaing dengan mereka yang berada di PTN. Hingga akhirnya saya menemukan titik dimana ini semua bukan sekedar prestige semata, namun semua ini ada sisi positif dari lingkungan saya dimana mereka memacu kita untuk mampu berkontribusi dan menjadi agen perubahan bagi bangsa dan negara, dimulai dari pemudanya, yaitu kita.
Perubahan mindset saya saat itu menjadikan konsep saya dalam bercita-cita menjadi semakin matang. Saya melihat kembali apa potensi terbesar saya, dan mengapa saya memilih untuk menjadi dosen, bukan guru, bukan psikolog, atau yang lain. Dari situlah saya mulai bangkit kembali untuk melanjutkan cita-cita saya untuk melanjutkan jenjang S2, dan sebagai syarat mutlak untuk menjadi seorang dosen. Namun, meletakan target pertama belum menjadikan saya untuk mampu menyusun plannning secara matang. Dan ini berdampak pada ketidakfokusan saya untuk mencapai target yang diinginkan. Mau lanjut ke luar negeri, tapi saya malah ambil kursus writing dan translation di Pare. Baru setelah sadar kalo yang saya perlukan adalah IELTS dan TOEFL, saya baru mulai mengambil dan terpaksa tidak saya lakukan dengan optimal. Kenapa tidak bisa optimal? Karena saat itu saya sedang dapat rejeki yang luar biasa lebih indah dari pengejaran itu semua. Ya, rejeki itu adalah Jodoh.
 
NIKAH ATAU S2?

Alangkah bahagianya menemukan pasangan yang sangat mendukung impian kita. Bagi sebagia wanita, itu merupakan salah satu harapan terbesar kepada pasangan mereka. Banyak teman yang mengelung, pasangan mereka cenderung melarang ini dan itu. Entah alasanya seperti apa. Yang jelas, saya menyampaikan dengan suami tentunya dengan komunikasi yang baik, agar mudah untuk saling difahami seperti apa visi misi hidup kita. Sebelum menikah saya sudah utarakan keinginan saya untuk bisa segera melanjutkan S2. Ayah saya juga menyampaikan apa cita-cita saya ketika suami melamar saya. Hal itu dilakukan agar kedua pihak keluarga saling memahami tujuan kita yang kelak akan dicapai bersama-sama.
             Rencana awal, setelah nikah saya ingin segera langsung melanjutkan jenjang S2. Namun saya masih belum diberi peluang untuk mendapatkan beasiswa saat itu. Kebetulan jurusan yang saya ambil baru ada di jawa, sementara pekerjaan suami di Palembang, Sumatara. Selain itu, saya mengalami gejolak batin jika harus berpisah lagi dengan suami. Bayangkan, sebelum menikah saya hanya bertemu dengan suami saya sekali saja. Kami tidak sempat berpacaran dan melakukan kontak langsung secara mendalam. Walaupun saat itu komunikasi via telpon kami terbilang sayang intens. Akhirnya saya harus merubah haluan. Saya ingin membangun attachment dengan suami saya terlebih dahulu, paling tidak satu tahun. Baru setelah itu saya akan berjuang lagi untuk lanjut kuliah.
Satu tahun sudah kita menjalani bahtera rumah tangga. Keresahan mulai datang ketika ingin melaksanakan apa yang sudah kita rencanakan. Ya, seperti janji saya dulu. Kembali pada rencana panjang untuk mencapai impian itu. Suami dengan begitu ikhlasnya, suatu ketika beliau pernah bilang sama saya,
“ Sayang, kamu tahu kenapa aku begitu mensupport cita-citamu itu, karena pada akhirnya aku memaknai bahwa itu bukan sekedar cita-citamu saja, melainkan harapan bersama, untuk mencapai tujuan hidup kita dalam membangun keluarga sakinah mawaddah warahmah”
           Masya Allah, seketika saya melebur dalam dekapanya sambil menyeka tetesan air mata yang penuh haru itu. Kita akan berjuang bersama sayang untuk tujuan bersama kita. Setelah itu, suami berusaha mencari peluang kerja perusahaan yang bonafit di Jawa. Alasanya ia tidak mau gegabah sekedar keluar dari kerjaan di Palembang, karena dunia kerja di Jawa adalah dunia yang penuh persaingan. Makanya dia hanya apply pada perusahaan yang besar saja, tidak sekedar abal-abal. Namun, atas ridho Allah, belum ada perusahaan yang memberi kesempatan itu. Saya begitu tahu bagaimana etos kerja suami, semua itu hanya pada permasalahan Ijin Allah. Tapi mengapa Allah belum meridhoi rencana kami? Kadang terbenak dalam hati untuk kecewa dan sedih.  Apa memang ternyata Allah masih meridhoi cita-cita ini?
          Belum lagi orang tua dari kedua belah pihak sangat memberatkan. Saya faham betul posisi saya. Saya adalah seorang istri. Dan sayalah yang akan meninggalkan suami saya. Walaupun berkantong izin dan support suami, tidak serta merta perizinan dari orang tua berjalan mulus. Namun saya tetap menghormati mereka, mendengarkan petuah mereka. Bahwa cita-cita tidak harus secepatnya diwujudkan, masih banyak waktu sampai tidak harus membuat kita jadi terpisah. Pada dasarnya profesi saya kelak tidak dijadikan prioritas utama untuk mencari nafkah. Karena sejatinya mencari nafkah adalah tugas utama suami. Sementara mendidik anak dan mengurus rumah tangga adalah tugas utama istri. Saya tertunduk malu. Ada apa dengan diri saya sehingga segitu berjuangnya mempertahankan prinsip ini? Salahkah dengan impian ini? Terlalu abstrakah atau terlalu muluk-mulukah tujuan mulia ini?
              Mungkin memang sayalah yang terlalu muluk-muluk bermimpi, tanpa memahami situasi dan kondisi. Yang ada dalam benak saya, saya ingin menjadi dosen sekaligus ilmuwan di bidang ilmu saya. Saya mampu menemukan konsep dan penemuan baru dalam penelitian saya, yang kelak suatu saat nanti selain mengajar, konsep tersebut akan saya transformasikan ke anak-anak dan suami saya untuk membangun lembaga bersama. Lembaga tersebut gunanya untuk bisa bermanfaat bagi masyarakat luas. Jadi ibaratnya saya harus punya bekal untuk menciptakan impian besar tersebut. Ah, mungkin saya terlalu banyak disuntik kisah-kisah heroik dari reality show Kick Andy, yang menjadikan diri saya akhirnya harus kembali untuk menginjak bumi dan meninggalkan langit yang penuh dengan angan-angan. Saat hati mulai pasrah untuk melepasnya, entah mengapa manusia malaikat yang bernama suami itu terus menerus meyakinkan keputusan saya. Berusahalah hingga titik akhir, dimana Allah benar-benar memutuskan bahwa saat ini memang bukan jalanmu!
            Bismilllahirrahmanirrahim, kata-kata itu kembali membius keputusan saya. Saya bulatkan tekat pulang ke Boyolali untuk menjalani proses pendaftaran mahasiswa S2 di UGM. Setelah menunggu giliran tes TOEFL dan TPA, 3 minggu kemudian saya kembali lagi ke Palembang karena pengumuman hasil tes administrasi masih 2 bulan lagi. Sepulang kesana, saya dibanjiri berbagai macam pertanyaan dari orang-orang sekitar, baik yang psoitif maupun negatif. Tapi saya sudah berjanji dalam diri untuk selalu berpositif thinking dan tidak mau mengotori hati saya ketika diberi pertanyaan yang mungkin cukup membuat saya tidak nyaman. Whatever it takes, do everything like the winds blow.

THANKS GOD, IM PREGNANT!

            Sebulan sudah waktu penantian pengumuman kini terlewati. Tinggal satu bulan lagi untuk menunggu pengumuman untuk lanjut ke seleksi wawancara dan tes tertulis dari jurusan. Ternyata, Allah memberikan kejutan rizki yang tidak disangka-sangka dan yang selama ini sangat kami dambakan. Alhamdulillah, diberikan kesempatan kedua kali ini hamil untuk anak pertama kami. Subhanallah walhamdulillah Allahukabar.  Terimakasih ya Allah, setahun sudah kami menantikannya. Dan saya tidak mau gagal untuk kedua kalinya. Saya harus benar-benar menjaga titipan Allah ini. Sayang, sehat terus ya nak di perut bunda. Ya Allah, fabiayyi aalaa irabbikuma tukadzibaan.

              Uforia kebahagiaan ini masih menghiasi rumah tangga kami. Ini menjadi kabar bahagia bagi orang tua, terutama mertua kami sebagai cucu pertama. Suami begitu perhatianya menjaga demi anak pertama kami. Sayapun sekarang lebih berhati-hati, dan mengerem segala aktivitas sosialita saya yang suka kumpul sama teman-teman. I totally stay at home currently. Semua demi dan demi babyku tersayang. Lalu gimana ya kabar S2nya? Jadi? Jadinya kami berdiskusi kembali dalam rutinitas pillow talk sebelum tidur. Kini giliran suami yang bimbang, “sayang, gimana kalo diundur lagi aja ya. Masak kamu nanti hamil sendirian gitu kamu siap?” saya tidak mampu menjawab apa-apa. Solusi terbaiknya adalah salat istikharah. Mencari solusi terbaik yang diridhai oleh Allah. Kenapa sih apa-apa harus ridho Allah? Ya, karena Allahlah yang paling tahu kemampuan hambanya kan. La yukallifullahu nafsan illa wus`aha.
             Alhamdulillah, waktu pengumuman tiba. Saya dinyatakan lolos untuk lanjut ke tahap seleksi tes tertulis dan wawancara dari jurusan. Akhirnya jawaban dari Allah datang dari prasangka hambanya. Awalnya saya utarakan dengan suami. Lalu saya menyampaikan kepada ibu mertua saya, “ Bu, karena tahap seleksinya tinggal sekali lagi, saya selesaikan semuanya dulu gih. Urusan diterima tidak, saya insya allah ikhlas. Kalo memang diterima berarti ini sudah kehendak AllaH, tapi kalo gak keterima berarti saya memang harus fokus sama kehamilan saya.” Ibu mertua saya merestui dan bahkan mendukung saya untuk tetap lanjut. Terima kasih bu atas restunya.
             Dan pada akhirnya, setelah menjalani proses yang berlika-liku, jalan Allah adalah meridhoi saya untuk lanjut S2 dengan kondisi hamil dan jauh dari suami dan orang tua. Saya ingat betul cerita dari temen yang baru tahu hamil setelah keterima beasiswa LPDP untuk lanjut kuliah di UK. Kebetulan suaminya juga melanjutkan di Eropa tapi berbeda kota yang jaraknya bisa satu jam. Dia jauh dari suami dan bahkan sangat jauh dari orang tua. Tidak ada teman lama disana. Tapi ia tetap melanjutkan studinya sampai akhirnya bayinya lahir pada saat kuliah di UK. Masya Allah. Tegar banget ya. Berarti saya juga bisa kayak dia. Paling tidak orang tua tidak begitu jauh, dan suami masih bisa menjenguk sebulan sekali. Saya selalu yakin, Allah tidak memberatkan hambanya kecuali sesuai dengan kemampuannya. Udah itu saja prinsip yang saya pegang. Bismillahirrahmanirrahim
           Sekarang sudah 2 bulan saya menjadi mahasiswa  sekaligus bumil. Doa saya semoga Allah melancarkan kehamilan saya, Allah melancarkan kuliah saya, diberi lingkungan, teman, dan dosen yang baik. Begitu luar biasa baiknya Allah, selama ini teman-teman sangat peduli sama saya, suami semakin perhatian walaupun jarak jauh, orang tua tetap terus mensupport. Sampai ada temen yang ingin menjadikan kehidupan saya sebagai bahan penelitian. Daya juang mahasiswa dengan kondisi hamil dan mandiri kali ya .. Hehee.. intinya saya harus nikmatin semua ini. Saya harus terus bahagia, jauhi berprasangka buruk, tetap hormati orang tua, ambil baik-baiknya, jangan terlalu sensitif dan selalu berprasangka baik, itu kuncinya. Saya bahkan lebih fokus dari studi S1 saya dulu karena karena sekarang saya lebih banyak fokus untuk belajar dan menjaga kesehatan si buah hati. Si baby sekarang usianya udah 5 bulan di kandungan. Sehat terus ya sayang, semoga terlahir secara sempurna, sehat jasmani rohani, menjadi qurrata a`yun bagi semuanya. Aminn.

             Walaupun cita-cita study abroad belum terealisasikan, setidaknya bisa melanjutkan di kampus terbaik di negeri ini. Bukan maksut saya  hanya mengejar title kampusnya. Tapi saya akui atmosfer keilmuwanya sangat terpelihara dengan baik bila kita merasakan kuliah disini. Semoga kelak akan terealisasikan study abroad saat S3 nanti. Tentunya dengan full scholarship dan bisa membawa anak dan suami. Bukan untuk gaya-gayan tentunya. Percayalah, kalo kita sungguh-sungguh menuntut ilmu, maka kita akan merasakan kenikmatan belajar yang sebenarnya. Tentunya, semua ilmu itu bisa bermanfaat agar kelak menjadi amal jariyah. Aminn ya rabb. Jadi, masih takut untuk bermimpi?