PURSUIT OF DREAMS
Banyak orang
tidak menyangka, bahwa jalan hidupnya terpaksa harus membuat impian besarnya
terkubur dalam-dalam. Banyak orang bahkan harus banting setir pada kehidupan
yang lebih nyata, karena menganggap bahwa impian besarnya tidak lebih dari
bunga tidur semata, dan ia harus cepat terbangun dari mimpinya. Tapi bisakah
kita mampu untuk mempertahankan impian besar ini walau dengan keadaan
terseok-seok, terbentur fisik dan psikis dan harus tetap mampu untuk bangkit
kembali?
Entah sejak
usia berapa tahun, saya mendambakan untuk bercita-cita sebagai seorang
pendidik. Entah spesifiknya pada profesi apa, yang penting passion saya selalu
kembali untuk mengajar. Namun ketika di bangku kuliah, saya mulai memantapkan
diri untuk bercita-cita sebagai seorang dosen. Namun, pada saat itu saya belum
mendapatkan esensi yang sangat mendalam mengapa saya harus menjadi seorang
dosen? Apa memang itu adalah minat saya, bakat saya, faktor lingkungan, atau
faktor konformitas yang hanya sekedar terbawa arus dari lingkungan teman yang
sebagian besar berorientasi untuk menjadi seorang ilmuwan?
Usai mendapatkan
gelar sarjana pada tahun 2012, banyak yang menyarankan saya untuk segera
melanjutkan di jenjang S2. Namun posisi saya saat itu masih belum lulus sarjana
untuk jurusan yang satunya (kebetulan ambil double degree). Akhirnya saya tetap
fokus untuk menyelesaikanya, dan mencoba kegiatan luar yang awalnya untuk bekal
prestige saya sebagai mahasiswa perguruan tinggi swasta. Kenapa harus prestige?
Apa yang harus diperjuangkan dari sebuah prestige?
Pada saat itu
kebetulan saya terlibat dalam komunitas nasional dimana mayoritas dari mereka
berasal dari mahasiswa PTN. Dan pembahasan yang selalu muncul dari benak mereka
adalah, udah pernah exchange belum? Udah pernah ikutan penelitian? Pernah ikutan
kompetisi apa? Udah pernah kontribusi apa slama ini? Sebetulnya pertanyaan
tersebut memacu diri saya untuk menunjukan bahwa mahasiswa PTS juga mampu
bersaing dengan mereka yang berada di PTN. Hingga akhirnya saya menemukan titik
dimana ini semua bukan sekedar prestige semata, namun semua ini ada sisi
positif dari lingkungan saya dimana mereka memacu kita untuk mampu berkontribusi
dan menjadi agen perubahan bagi bangsa dan negara, dimulai dari pemudanya,
yaitu kita.
Perubahan mindset
saya saat itu menjadikan konsep saya dalam bercita-cita menjadi semakin matang.
Saya melihat kembali apa potensi terbesar saya, dan mengapa saya memilih untuk
menjadi dosen, bukan guru, bukan psikolog, atau yang lain. Dari situlah saya
mulai bangkit kembali untuk melanjutkan cita-cita saya untuk melanjutkan
jenjang S2, dan sebagai syarat mutlak untuk menjadi seorang dosen. Namun,
meletakan target pertama belum menjadikan saya untuk mampu menyusun plannning
secara matang. Dan ini berdampak pada ketidakfokusan saya untuk mencapai target
yang diinginkan. Mau lanjut ke luar negeri, tapi saya malah ambil kursus
writing dan translation di Pare. Baru setelah sadar kalo yang saya perlukan
adalah IELTS dan TOEFL, saya baru mulai mengambil dan terpaksa tidak saya
lakukan dengan optimal. Kenapa tidak bisa optimal? Karena saat itu saya sedang
dapat rejeki yang luar biasa lebih indah dari pengejaran itu semua. Ya, rejeki
itu adalah Jodoh.
NIKAH ATAU S2?
Alangkah bahagianya
menemukan pasangan yang sangat mendukung impian kita. Bagi sebagia wanita, itu
merupakan salah satu harapan terbesar kepada pasangan mereka. Banyak teman yang
mengelung, pasangan mereka cenderung melarang ini dan itu. Entah alasanya
seperti apa. Yang jelas, saya menyampaikan dengan suami tentunya dengan
komunikasi yang baik, agar mudah untuk saling difahami seperti apa visi misi
hidup kita. Sebelum menikah saya sudah utarakan keinginan saya untuk bisa
segera melanjutkan S2. Ayah saya juga menyampaikan apa cita-cita saya ketika
suami melamar saya. Hal itu dilakukan agar kedua pihak keluarga saling memahami
tujuan kita yang kelak akan dicapai bersama-sama.
Rencana awal, setelah nikah saya
ingin segera langsung melanjutkan jenjang S2. Namun saya masih belum diberi
peluang untuk mendapatkan beasiswa saat itu. Kebetulan jurusan yang saya ambil
baru ada di jawa, sementara pekerjaan suami di Palembang, Sumatara. Selain itu,
saya mengalami gejolak batin jika harus berpisah lagi dengan suami. Bayangkan,
sebelum menikah saya hanya bertemu dengan suami saya sekali saja. Kami tidak
sempat berpacaran dan melakukan kontak langsung secara mendalam. Walaupun saat
itu komunikasi via telpon kami terbilang sayang intens. Akhirnya saya harus
merubah haluan. Saya ingin membangun attachment dengan suami saya terlebih
dahulu, paling tidak satu tahun. Baru setelah itu saya akan berjuang lagi untuk
lanjut kuliah.
Satu tahun sudah kita menjalani
bahtera rumah tangga. Keresahan mulai datang ketika ingin melaksanakan apa yang
sudah kita rencanakan. Ya, seperti janji saya dulu. Kembali pada rencana panjang
untuk mencapai impian itu. Suami dengan begitu ikhlasnya, suatu ketika beliau pernah
bilang sama saya,
“ Sayang, kamu tahu kenapa aku
begitu mensupport cita-citamu itu, karena pada akhirnya aku memaknai bahwa itu
bukan sekedar cita-citamu saja, melainkan harapan bersama, untuk mencapai
tujuan hidup kita dalam membangun keluarga sakinah mawaddah warahmah”
Masya Allah, seketika saya
melebur dalam dekapanya sambil menyeka tetesan air mata yang penuh haru itu. Kita
akan berjuang bersama sayang untuk tujuan bersama kita. Setelah itu, suami
berusaha mencari peluang kerja perusahaan yang bonafit di Jawa. Alasanya ia
tidak mau gegabah sekedar keluar dari kerjaan di Palembang, karena dunia kerja
di Jawa adalah dunia yang penuh persaingan. Makanya dia hanya apply pada
perusahaan yang besar saja, tidak sekedar abal-abal. Namun, atas ridho Allah,
belum ada perusahaan yang memberi kesempatan itu. Saya begitu tahu bagaimana
etos kerja suami, semua itu hanya pada permasalahan Ijin Allah. Tapi mengapa
Allah belum meridhoi rencana kami? Kadang terbenak dalam hati untuk kecewa dan
sedih. Apa memang ternyata Allah masih
meridhoi cita-cita ini?
Belum lagi orang tua dari kedua
belah pihak sangat memberatkan. Saya faham betul posisi saya. Saya adalah
seorang istri. Dan sayalah yang akan meninggalkan suami saya. Walaupun berkantong
izin dan support suami, tidak serta merta perizinan dari orang tua berjalan
mulus. Namun saya tetap menghormati mereka, mendengarkan petuah mereka. Bahwa cita-cita
tidak harus secepatnya diwujudkan, masih banyak waktu sampai tidak harus
membuat kita jadi terpisah. Pada dasarnya profesi saya kelak tidak dijadikan
prioritas utama untuk mencari nafkah. Karena sejatinya mencari nafkah adalah tugas
utama suami. Sementara mendidik anak dan mengurus rumah tangga adalah tugas
utama istri. Saya tertunduk malu. Ada apa dengan diri saya sehingga segitu
berjuangnya mempertahankan prinsip ini? Salahkah dengan impian ini? Terlalu abstrakah
atau terlalu muluk-mulukah tujuan mulia ini?
Mungkin memang sayalah yang
terlalu muluk-muluk bermimpi, tanpa memahami situasi dan kondisi. Yang ada
dalam benak saya, saya ingin menjadi dosen sekaligus ilmuwan di bidang ilmu
saya. Saya mampu menemukan konsep dan penemuan baru dalam penelitian saya, yang
kelak suatu saat nanti selain mengajar, konsep tersebut akan saya
transformasikan ke anak-anak dan suami saya untuk membangun lembaga bersama. Lembaga
tersebut gunanya untuk bisa bermanfaat bagi masyarakat luas. Jadi ibaratnya
saya harus punya bekal untuk menciptakan impian besar tersebut. Ah, mungkin
saya terlalu banyak disuntik kisah-kisah heroik dari reality show Kick Andy,
yang menjadikan diri saya akhirnya harus kembali untuk menginjak bumi dan
meninggalkan langit yang penuh dengan angan-angan. Saat hati mulai pasrah untuk
melepasnya, entah mengapa manusia malaikat yang bernama suami itu terus menerus
meyakinkan keputusan saya. Berusahalah hingga titik akhir, dimana Allah
benar-benar memutuskan bahwa saat ini memang bukan jalanmu!
Bismilllahirrahmanirrahim,
kata-kata itu kembali membius keputusan saya. Saya bulatkan tekat pulang ke
Boyolali untuk menjalani proses pendaftaran mahasiswa S2 di UGM. Setelah menunggu
giliran tes TOEFL dan TPA, 3 minggu kemudian saya kembali lagi ke Palembang
karena pengumuman hasil tes administrasi masih 2 bulan lagi. Sepulang kesana,
saya dibanjiri berbagai macam pertanyaan dari orang-orang sekitar, baik yang
psoitif maupun negatif. Tapi saya sudah berjanji dalam diri untuk selalu
berpositif thinking dan tidak mau mengotori hati saya ketika diberi pertanyaan
yang mungkin cukup membuat saya tidak nyaman. Whatever it takes, do everything
like the winds blow.
THANKS GOD, IM PREGNANT!
Sebulan sudah waktu penantian
pengumuman kini terlewati. Tinggal satu bulan lagi untuk menunggu pengumuman
untuk lanjut ke seleksi wawancara dan tes tertulis dari jurusan. Ternyata,
Allah memberikan kejutan rizki yang tidak disangka-sangka dan yang selama ini
sangat kami dambakan. Alhamdulillah, diberikan kesempatan kedua kali ini hamil
untuk anak pertama kami. Subhanallah walhamdulillah Allahukabar. Terimakasih ya Allah, setahun sudah kami
menantikannya. Dan saya tidak mau gagal untuk kedua kalinya. Saya harus
benar-benar menjaga titipan Allah ini. Sayang, sehat terus ya nak di perut
bunda. Ya Allah, fabiayyi aalaa irabbikuma tukadzibaan.
Uforia kebahagiaan ini masih
menghiasi rumah tangga kami. Ini menjadi kabar bahagia bagi orang tua, terutama
mertua kami sebagai cucu pertama. Suami begitu perhatianya menjaga demi anak
pertama kami. Sayapun sekarang lebih berhati-hati, dan mengerem segala
aktivitas sosialita saya yang suka kumpul sama teman-teman. I totally stay at
home currently. Semua demi dan demi babyku tersayang. Lalu gimana ya kabar
S2nya? Jadi? Jadinya kami berdiskusi kembali dalam rutinitas pillow talk
sebelum tidur. Kini giliran suami yang bimbang, “sayang, gimana kalo diundur
lagi aja ya. Masak kamu nanti hamil sendirian gitu kamu siap?” saya tidak mampu
menjawab apa-apa. Solusi terbaiknya adalah salat istikharah. Mencari solusi
terbaik yang diridhai oleh Allah. Kenapa sih apa-apa harus ridho Allah? Ya,
karena Allahlah yang paling tahu kemampuan hambanya kan. La yukallifullahu
nafsan illa wus`aha.
Alhamdulillah, waktu pengumuman
tiba. Saya dinyatakan lolos untuk lanjut ke tahap seleksi tes tertulis dan
wawancara dari jurusan. Akhirnya jawaban dari Allah datang dari prasangka
hambanya. Awalnya saya utarakan dengan suami. Lalu saya menyampaikan kepada ibu
mertua saya, “ Bu, karena tahap seleksinya tinggal sekali lagi, saya selesaikan
semuanya dulu gih. Urusan diterima tidak, saya insya allah ikhlas. Kalo memang
diterima berarti ini sudah kehendak AllaH, tapi kalo gak keterima berarti saya
memang harus fokus sama kehamilan saya.” Ibu mertua saya merestui dan bahkan
mendukung saya untuk tetap lanjut. Terima kasih bu atas restunya.
Dan pada akhirnya, setelah
menjalani proses yang berlika-liku, jalan Allah adalah meridhoi saya untuk
lanjut S2 dengan kondisi hamil dan jauh dari suami dan orang tua. Saya ingat
betul cerita dari temen yang baru tahu hamil setelah keterima beasiswa LPDP
untuk lanjut kuliah di UK. Kebetulan suaminya juga melanjutkan di Eropa tapi
berbeda kota yang jaraknya bisa satu jam. Dia jauh dari suami dan bahkan sangat
jauh dari orang tua. Tidak ada teman lama disana. Tapi ia tetap melanjutkan
studinya sampai akhirnya bayinya lahir pada saat kuliah di UK. Masya Allah. Tegar
banget ya. Berarti saya juga bisa kayak dia. Paling tidak orang tua tidak
begitu jauh, dan suami masih bisa menjenguk sebulan sekali. Saya selalu yakin,
Allah tidak memberatkan hambanya kecuali sesuai dengan kemampuannya. Udah itu
saja prinsip yang saya pegang. Bismillahirrahmanirrahim
Sekarang sudah 2 bulan saya
menjadi mahasiswa sekaligus bumil. Doa saya
semoga Allah melancarkan kehamilan saya, Allah melancarkan kuliah saya, diberi
lingkungan, teman, dan dosen yang baik. Begitu luar biasa baiknya Allah, selama
ini teman-teman sangat peduli sama saya, suami semakin perhatian walaupun jarak
jauh, orang tua tetap terus mensupport. Sampai ada temen yang ingin menjadikan
kehidupan saya sebagai bahan penelitian. Daya juang mahasiswa dengan kondisi
hamil dan mandiri kali ya .. Hehee.. intinya saya harus nikmatin semua ini. Saya
harus terus bahagia, jauhi berprasangka buruk, tetap hormati orang tua, ambil
baik-baiknya, jangan terlalu sensitif dan selalu berprasangka baik, itu
kuncinya. Saya bahkan lebih fokus dari studi S1 saya dulu karena karena
sekarang saya lebih banyak fokus untuk belajar dan menjaga kesehatan si buah
hati. Si baby sekarang usianya udah 5 bulan di kandungan. Sehat terus ya
sayang, semoga terlahir secara sempurna, sehat jasmani rohani, menjadi qurrata
a`yun bagi semuanya. Aminn.
Walaupun cita-cita study abroad
belum terealisasikan, setidaknya bisa melanjutkan di kampus terbaik di negeri
ini. Bukan maksut saya hanya mengejar
title kampusnya. Tapi saya akui atmosfer keilmuwanya sangat terpelihara dengan
baik bila kita merasakan kuliah disini. Semoga kelak akan terealisasikan study
abroad saat S3 nanti. Tentunya dengan full scholarship dan bisa membawa anak
dan suami. Bukan untuk gaya-gayan tentunya. Percayalah, kalo kita
sungguh-sungguh menuntut ilmu, maka kita akan merasakan kenikmatan belajar yang
sebenarnya. Tentunya, semua ilmu itu bisa bermanfaat agar kelak menjadi amal
jariyah. Aminn ya rabb. Jadi, masih takut untuk bermimpi?