Tuesday 26 July 2016

OJO GAMPANG GUMUNAN LAN PANIKAN (JANGAN MUDAH TERPUKAU DAN PANIK)

“Bu, kita itu ya harus banyak menghindari kata-kata jangan loh...itu loh kata psikolog ini kita harus blaba...”
“Bu tau gak, kita itu harus ngajarin pendidikan seks sama anak sejak dini loh, dijelasin aja gimana ini ini..”
“Ah saya mah milih ngurus anak-anak aja kalik bu, soalnya dulu ibu saya kerja saya jadi kurang kasih sayang, makanya saya gak pengen anak saya kayak saya...”
“Lihat deh anaku sukses 2 tahun full ASI loh bu, sukses toilet training..kok anak ibu belum bisa gak diajarin ya?”
“Udah jangan dititipin anak sama ortu, bikin susah ortu  aja..lagian kok tega juga sih masih kerja aja anak dititipin ke orang lain?”
“eh anaknya bu ini udah hapal 30 juz Al-Quran loh padahal usianya masih 5 tahun. Yuk bu, kita sekolahin tahfidz aja biar kayak anak ibu itu...eh anaknya bu ini juga udah jago maen piano..keren deh...kita lesin juga yuk biar kayak dia..”

Dan masih banyak celotehan para ibu-ibu muda di sosial media mengenai pengasuhan anak yang dianggap terbaik bagi mereka. Seperti biasa saya paling suka mengamati beberapa respon para mamah muda baik dari komentar maupun postingan mereka di beranda. Saya suka sekali ternyata banyak ibu muda yang mulai aware mengenai ilmu parenting untuk mengasuh anak-anak mereka yang lebih baik. Banyak yang sudah menerapkanya lalu mencoba sharing di sosial media, “Alhamdulillah anaku sudah bisa ini itu...Masya Allah soleh/solehah terus ya nak...” Ada juga yang terkesan memasang komentar miring mengenai pola asuh orang lain yang tidak sejalan dengan persepsi mereka, “Eh liat deh gara-gara diasuh pembantunya tuh, nanya kesukaan anak aja gak tau...” atau “situ sama aja ya kuliah tinggi-tinggi toh yang ngasuh cuman tamatan SD, emang rela anak yang kita anggap berlian dititipin ke pedagang kaki lima?” dan paling banyak adalah melalui komentar ibu-ibu satu sama lain menunjukan pola asuh terbaik yang sudah mereka lakukan, “Anakmu baru diajarin nabung? Anaku udah bisa nabung dari umur sekian loh...eh anaku malah udah bisa beli barang sendiri dari hasil tabunganya...anaku ini itu...” dan seterusnya seakan mereka gak mau kalah kalo anak mereka lebih cerdas dari yang lain.


Sosial media merupakan ruang privasi masing-masing individu dimana setiap orang bebas berekspresi di dalamnya. Mau di sharing apapun itu adalah hak dia sepenuhnya karena mereka menuliskanya di ruang milik mereka masing-masing. Berbeda jika mereka update status galau di beranda orang lain tanpa seijin si pemilik, itu baru namanya menggunakan hak milik orang lain. Hehehee... Jadi sah-sah aja sih menurutku jika para ibu-ibu saling sharing dan berkomentar mengenai pola asuh anak.


Mengenai banyaknya artikel mengenai parenting yang ditulis oleh beberapa pakar anak, psikolog, ataupun yang lainya menurut saya pribadi memiliki sisi positif untuk meningkatkan kesadaran orang tua dalam mengasuh anak. Orang tua memang perlu banyak memahami tumbuh kembang anak agar pola asuh mereka sesuai dengan perkembangan zaman, mengingat anak-anak kita merupakan bagian dari generasi Y atau X dimana kita tidak bisa terlepas dari kompleksitas tantangan teknologi dan tantangan lainya. Namun, yang ingin saya garis bawahin disini adalah bagaimana kita sebagai pembaca bisa menanggapi artikel tersebut sebijak mungkin dan disesuaikan juga dengan kondisi masing-masing.


Saya sejujurnya secara pribadi memiliki perubahan sikap dalam menanggapi ilmu –ilmu baru. Dulu waktu masih kuliah, saya juga termasuk orang gumunan atau gampang terpukau. Semisal setelah seminar yang diberikan oleh pembicara ini, lalu saya gumun dengan kesuksesan ibu itu. Lalu saya menganggap kesuksesan ibu itu perlu ditiru oleh ibu-ibu lain dan cenderung mulai menganggap sebelah mata dengan ibu lain yang tidak seprinsip dengan ibu yang saya kagumi itu. Atau setelah saya membaca artikel tentang pengasuhan anak dari pakar ini, saya mulai meyakini bahwa ini loh..parenting yang bener itu. Selama ini kita salah atau orang tua kita salah dalam mendidik kita. Stop untuk melakukan ini, mari kita mendidikan bangsa kita dengan cara dari pakar pak itu, hati ini seolah bergelora dengan semangat jiwa yang membara.


Namun, semakin bertambahnya usia dan ilmu, semakin banyak pula kita dengan pengalaman dan hal-hal baru yang kita miliki. Semakin bijak pulalah kita menyikapi hal-hal tersebut yang disesuaikan dengan konteks dan situasi yang ada. Dari situ saya ingin berargumentasi pada fenomena yang sudah saya tulis diawal pembukaan. Argumen ini adalah asumsi saya pribadi berdasarkan pengalaman pribadi. Jadi yang tidak setuju atau mungkin menyetujui itu silahkan..hak kalian masing-masing. Tapi saya akan suka sekali jika tulisan ini dikomentari dengan argumen yang membangun dan positif, karena saya haus ilmu dan masukan dari teman-teman yang lain. Silahkan...


Menurut saya sih, ilmu perilaku adalah ilmu yang sangat kompleks dimana setiap individu satu dengan yang lainya memiliki perbedaan atau sering kita sebut dengan induvidual differences. Selain itu perbedaan perilaku bukan hanya ditentukan oleh nature atau gen semata, namun nurture juga berperan andil didalamnya seperti konteks budaya, ras, agama, dan lain sebagainya. Meskipun saya setuju jika nature mendominasi lebih banyak dalam pembentukan pribadi seseorang ( argumen saya didukung oleh proses pengamatan saya terhadap anak-anak di sekitar saya, maka I do agree with that theory hehe). Bahkan teori-teori dasar psikologipun dikemukakan oleh tokoh dengan asumsi yang berbeda-beda. Contohnya aja si Piaget dan si Vygotsky punya pandangan berbeda mengenai proses pengolahan informasi. Dari semua tokoh psikoanalisis yang ada, Jung lah yang banyak membahas transpersonal dalam sisi psikologi manusia. eh ternyata emang dia banyak melakukan penelitian di daerah timur dimana masyarakatnya percaya akan hal mistis. So, para tokoh tersebut memunculkan teori berdasarkan akan eksperimen yang mereka lakukan. Jadi semestinya kalo kita mau bijak yang kita bisa ambil yang sesuai dengan budaya dan kondisi kita masing-masing to?


Maka dari itu setiap ibu memiliki kondisi yang berbeda-beda. Ada yang dia ditakdirkan mendapatkan suami seorang konglomerat dimana dia bisa sepenuhnya menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga full time tanpa harus bekerja di kantor. Adapula dia yang hidup dengan suami dimana keduanya saling berkomitmen untuk saling mendukung karir mereka masing-masing, sehingga keduanya memilih untuk bekerja. Ada yang walaupun gaji suami mencukupi (pas) tetap tidak mengijinkan istrinya untuk bekerja dan meminta istrinya fokus untuk mengurus rumah tangga. Lalu, mana kondisi terbaik bagi mereka untuk mengasuh anak? Jawabannya adalah tergantung kepada kualitas mereka masing-masing dalam mengasuh anak. So please gak usah yang namanya menjudge satu sama lain mengenai kondisi Ibu yang tidak sesuai dengan kondisi kita. Belajarlah untuk saling menghargai keputusan masing-masing. Jika memang seorang pakar ini itu mengungkapkan bahwa idealnya orang tua itu seperti ini itu, ambilah yang bisa kita lakukan dimana sesuai dengan kondisi kita saat ini, jangan langsung mentah-mentah memutuskan sesuatu hal lantaran takut jika tidak sesuai dengan yang diungkapkan pakar itu, kita akan gagal mengasuh anak kita. Jika ada suatu hal yang baru, jangan cepat menggebu-gebu untuk mempraktekanya secara keseluruhan. Kan bisa diskusi sama suami, sama orang tua, kira-kira bagaimana jika seperti ini jika seperti itu.


Selain itu juga jangan mudah panik menerima sesuatu yang baru. Aduh, saya nyesel selama ini bilang jangan sama anak. Saya malah marahin anak saya, padahal itu akan mematikan kepercayaan dirinya. Memang betul jika sebaiknya kita memberikan terbaik untuk anak-anak. Tapi ada kalanya anak harus difahamkan dengan konsekuensi, dimana segala sesuatu yang dilakukan memiliki dampak dari apa yang dilakukan. Maka bolehlah sesekali tegas atau marah dengan anak agar anak belajar menghargai dan memahami. Sesuaikan juga konteksnya dengan agama kita. Saya sebagai muslim contohnya mengajarkan anak tentang kewajiban menjalankan solat lima waktu. Apabila sudah pada usia baligh anak tidak menjalankan kewajiban tersebut, saya berhak mengajarkan konsekuensi tentang panasnya api neraka tidak seberapa dengan pukulan (yang sesuai dengan kriteria Rasul) yang diberikan orang tua saat anak tidak salat. Apakah anak trauma setelah itu?apakah digolongkan kepada kekerasan pada anak? Kalo mau lebih jelas, anda bisa membaca buku-buku karya Psikolog Muslim ternama yaitu Prof.Malik Badri agar kita lebih bijak mengambil ilmu psikologi dari Barat. Biar pada penasaran hehehee...selain itu, kita banyak menemukan beberapa perintah dan larangan dalam Al-Qur`an lantas kenapa juga kata-kata jangan itu harus dihindari? Saya pernah MOU dengan Psikologi IIUM Malaysia. Saat itu saya bertanya mengenai apakah kata-kata jangan itu benar-benar harus dihindari saat menegur anak? Pertanyaan saya itu dijawab bijak oleh salah satu mahasiswa IIUM. Setiap anak memiliki karakter yang berbeda-beda. Maka ada anak yang termotivasi melalui larangan, ada juga anak yang termotivasi melalui kata seruan. Semua ada porsinya. Jawaban yang cerdas, saya jadi semangat mempelajari psikologi Islam saat itu...


Kepanikan lainya adalah ketika seorang pakar mengajurkan untuk tidak menitipkan anak pada orang lain. Anak-anak adalah tanggung jawab orang tuanya sendiri. Ibu masih bisa kok bekerja jika anak sudah berusia 8 tahun. La kalo semisal anak pertama sudah 8 tahun, sementara anak kedua ketiga keempat belum 8 tahun gimana? Toh jika ada negara yang menganjurkan seperti itu kita lihat juga apakah kondisi negara tersebut sesuai dengan negara kita. Negara kita adalah negara yang berkembang tidak bisa disamakan dengan negara maju yang mungkin sudah menjamin kehidupan bangsanya dengan memberikan fasitlitas terbaik yang diberikan gratis oleh pemerintah, seperti sekolah gratis, rumah gratis, dll. Itu hanya gambaran besarnya saja, selanjutnya bisa anda amati sendiri. Terus kalo memang orang tua kita atau nenek kakeknya si cucu sangat ingin mengasuh anak kita daripada harus dititipkan oleh pembantu misal, karena si Ibu harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan si anak? Si Ibu ini kan juga bagian dari ikhtiar untuk memnuhi kebutuhan anak? Salahkah? Kembali ke pribadi dan kondisi masing-masing. Sebetulanya membangun bonding atau ikatan pada anak itu gak bisa ditentukan dengan kondisi ibu bekerja atau tidak. Karena apa? Karena bonding terbentuk dari kualitas ibu memberikan perhatian sepenuhnya pada anak. Contoh walau si ibu bekerja, tapi ibu tetap punya quality time sama anak untuk saling sharing, ibu walau kerja tidak pernah melewatkan untuk memasak makanan untuk anak-anaknya. Tuh, dengan hal terkecil aja seperti memasak, ibu bekerja masih bisa membangun kelekatan dengan anak, karena nantinya anak jadi selalu dekat dengan ibu agar bisa merasakan masakan ibu. Terlebih ibu rumah tangga tentunya akan banyak bisa memberikan quality time dengan anak. Nah, kalo gini semua profesi ibu baik full house mom atau carrier mom masing-masing bisa sukses kan membangun bonding pada anak?


Lalu ada lagi fenomena nggumunan ketika Musa hafidz cilik bisa hafal Al-Qur`an, si Joey si pianist cilik yang masuk Grammy award. Lantas semua ibu menggebu-nggebu ingin anaknya seperti mereka. Setau saya para orang tuanya pun sangat konsisten menstimulus anaknya untuk bisa seperti itu bahkan sejak dalam kandungan. Percuma saja jika menggebu-gebu diawal lalu berakhir dengan panas-panas tai ayam. Tenangkan diri, kenali potensi si anak, kira-kira kemampuan ingatanya kuat gak untuk menghafal. Toh kata dosen saya anak tidak harus dipaksa jadi hafidz Quran, yang terpenting adalah bagaimana akhlaknya bisa sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran. Bukan hafal semata namun juga memahami kandungan yang ada sehingga bisa diterapkan dalam perilakunya. Iya kan?



Sudahlah ya, kita berakhir kesimpulan. Terlalu panjang nih argumenya, maafkan hihihi... intinya adalah kita harus bijak menerima sesuatu yang baru. Pertimbangkan diskusikan. Jangan pula menjduge orang tua kita sendiri memiliki pola asuh yang salah kepada kita. Everything happen for a reason. Kita bersyukur sudah dibesarkan sedemikian ini dan berterimakasihlah kepada orang tua sebaik dan seburuk apapun yang mereka berikan kepada kita, karena merekalah kita ada disini. Ambil baiknya dan Fokus pada diri kita masing-masing.  Zaman yang serba banyak tantangan ini orang tuanya akan sukses mendidik anak jika dilakukan dengan basis komunitas atau kelompok. Kalo egois pengenya bener sendiri,paling oke sendiri, ke laut aja deh . sudah gak zaman. Waktunya kita adalah saling mensupport satu sama lain. Saling memberikan masukan positif, bukan malah menjatuhkan atau memicingkan sebelah mata kepada mereka yang diberikan kondisi yang berbeda dengan kita. Mari bersama-sama mendidik generasi penerus bangsa dengan kebersamaan dan keihklasan. Amin......

1 comment:

  1. Assalamualaikum.

    Mbak, meninggalkan jejak dulu ah..
    aku juga dulu suka gumunan, terutama gumun sama anak-anak yang jmasih kecil sudah jago, tapi semakin kesini dan ditambah ilmu di matrikulasi semakin mantep kalau anak punya bibit bakat masing-masing, tidak perlu digegas.

    ReplyDelete

Yakin gak mau BW? Aku suka BW balik loh