“Bu,
kita itu ya harus banyak menghindari kata-kata jangan loh...itu loh kata
psikolog ini kita harus blaba...”
“Bu
tau gak, kita itu harus ngajarin pendidikan seks sama anak sejak dini loh,
dijelasin aja gimana ini ini..”
“Ah
saya mah milih ngurus anak-anak aja kalik bu, soalnya dulu ibu saya kerja saya
jadi kurang kasih sayang, makanya saya gak pengen anak saya kayak saya...”
“Lihat
deh anaku sukses 2 tahun full ASI loh bu, sukses toilet training..kok anak ibu
belum bisa gak diajarin ya?”
“Udah
jangan dititipin anak sama ortu, bikin susah ortu aja..lagian kok tega juga sih masih kerja aja
anak dititipin ke orang lain?”
“eh
anaknya bu ini udah hapal 30 juz Al-Quran loh padahal usianya masih 5 tahun.
Yuk bu, kita sekolahin tahfidz aja biar kayak anak ibu itu...eh anaknya bu ini
juga udah jago maen piano..keren deh...kita lesin juga yuk biar kayak dia..”
Dan
masih banyak celotehan para ibu-ibu muda di sosial media mengenai pengasuhan
anak yang dianggap terbaik bagi mereka. Seperti biasa saya paling suka
mengamati beberapa respon para mamah muda baik dari komentar maupun postingan
mereka di beranda. Saya suka sekali ternyata banyak ibu muda yang mulai aware
mengenai ilmu parenting untuk mengasuh anak-anak mereka yang lebih baik. Banyak
yang sudah menerapkanya lalu mencoba sharing di sosial media, “Alhamdulillah
anaku sudah bisa ini itu...Masya Allah soleh/solehah terus ya nak...” Ada juga
yang terkesan memasang komentar miring mengenai pola asuh orang lain yang tidak
sejalan dengan persepsi mereka, “Eh liat deh gara-gara diasuh pembantunya tuh,
nanya kesukaan anak aja gak tau...” atau “situ sama aja ya kuliah tinggi-tinggi
toh yang ngasuh cuman tamatan SD, emang rela anak yang kita anggap berlian
dititipin ke pedagang kaki lima?” dan paling banyak adalah melalui komentar
ibu-ibu satu sama lain menunjukan pola asuh terbaik yang sudah mereka lakukan,
“Anakmu baru diajarin nabung? Anaku udah bisa nabung dari umur sekian loh...eh
anaku malah udah bisa beli barang sendiri dari hasil tabunganya...anaku ini
itu...” dan seterusnya seakan mereka gak mau kalah kalo anak mereka lebih cerdas
dari yang lain.
Sosial
media merupakan ruang privasi masing-masing individu dimana setiap orang bebas
berekspresi di dalamnya. Mau di sharing apapun itu adalah hak dia sepenuhnya
karena mereka menuliskanya di ruang milik mereka masing-masing. Berbeda jika
mereka update status galau di beranda orang lain tanpa seijin si pemilik, itu
baru namanya menggunakan hak milik orang lain. Hehehee... Jadi sah-sah aja sih
menurutku jika para ibu-ibu saling sharing dan berkomentar mengenai pola asuh
anak.
Mengenai
banyaknya artikel mengenai parenting yang ditulis oleh beberapa pakar anak,
psikolog, ataupun yang lainya menurut saya pribadi memiliki sisi positif untuk
meningkatkan kesadaran orang tua dalam mengasuh anak. Orang tua memang perlu
banyak memahami tumbuh kembang anak agar pola asuh mereka sesuai dengan
perkembangan zaman, mengingat anak-anak kita merupakan bagian dari generasi Y
atau X dimana kita tidak bisa terlepas dari kompleksitas tantangan teknologi
dan tantangan lainya. Namun, yang ingin saya garis bawahin disini adalah
bagaimana kita sebagai pembaca bisa menanggapi artikel tersebut sebijak mungkin
dan disesuaikan juga dengan kondisi masing-masing.
Saya
sejujurnya secara pribadi memiliki perubahan sikap dalam menanggapi ilmu –ilmu
baru. Dulu waktu masih kuliah, saya juga termasuk orang gumunan atau gampang
terpukau. Semisal setelah seminar yang diberikan oleh pembicara ini, lalu saya
gumun dengan kesuksesan ibu itu. Lalu saya menganggap kesuksesan ibu itu perlu
ditiru oleh ibu-ibu lain dan cenderung mulai menganggap sebelah mata dengan ibu
lain yang tidak seprinsip dengan ibu yang saya kagumi itu. Atau setelah saya
membaca artikel tentang pengasuhan anak dari pakar ini, saya mulai meyakini
bahwa ini loh..parenting yang bener itu. Selama ini kita salah atau orang tua
kita salah dalam mendidik kita. Stop untuk melakukan ini, mari kita mendidikan
bangsa kita dengan cara dari pakar pak itu, hati ini seolah bergelora dengan
semangat jiwa yang membara.
Namun,
semakin bertambahnya usia dan ilmu, semakin banyak pula kita dengan pengalaman
dan hal-hal baru yang kita miliki. Semakin bijak pulalah kita menyikapi hal-hal
tersebut yang disesuaikan dengan konteks dan situasi yang ada. Dari situ saya
ingin berargumentasi pada fenomena yang sudah saya tulis diawal pembukaan.
Argumen ini adalah asumsi saya pribadi berdasarkan pengalaman pribadi. Jadi
yang tidak setuju atau mungkin menyetujui itu silahkan..hak kalian
masing-masing. Tapi saya akan suka sekali jika tulisan ini dikomentari dengan
argumen yang membangun dan positif, karena saya haus ilmu dan masukan dari
teman-teman yang lain. Silahkan...
Menurut
saya sih, ilmu perilaku adalah ilmu yang sangat kompleks dimana setiap individu
satu dengan yang lainya memiliki perbedaan atau sering kita sebut dengan
induvidual differences. Selain itu perbedaan perilaku bukan hanya ditentukan
oleh nature atau gen semata, namun nurture juga berperan andil didalamnya
seperti konteks budaya, ras, agama, dan lain sebagainya. Meskipun saya setuju
jika nature mendominasi lebih banyak dalam pembentukan pribadi seseorang (
argumen saya didukung oleh proses pengamatan saya terhadap anak-anak di sekitar
saya, maka I do agree with that theory hehe). Bahkan teori-teori dasar
psikologipun dikemukakan oleh tokoh dengan asumsi yang berbeda-beda. Contohnya
aja si Piaget dan si Vygotsky punya pandangan berbeda mengenai proses
pengolahan informasi. Dari semua tokoh psikoanalisis yang ada, Jung lah yang
banyak membahas transpersonal dalam sisi psikologi manusia. eh ternyata emang
dia banyak melakukan penelitian di daerah timur dimana masyarakatnya percaya
akan hal mistis. So, para tokoh tersebut memunculkan teori berdasarkan akan
eksperimen yang mereka lakukan. Jadi semestinya kalo kita mau bijak yang kita
bisa ambil yang sesuai dengan budaya dan kondisi kita masing-masing to?
Maka
dari itu setiap ibu memiliki kondisi yang berbeda-beda. Ada yang dia
ditakdirkan mendapatkan suami seorang konglomerat dimana dia bisa sepenuhnya
menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga full time tanpa harus
bekerja di kantor. Adapula dia yang hidup dengan suami dimana keduanya saling
berkomitmen untuk saling mendukung karir mereka masing-masing, sehingga
keduanya memilih untuk bekerja. Ada yang walaupun gaji suami mencukupi (pas)
tetap tidak mengijinkan istrinya untuk bekerja dan meminta istrinya fokus untuk
mengurus rumah tangga. Lalu, mana kondisi terbaik bagi mereka untuk mengasuh
anak? Jawabannya adalah tergantung kepada kualitas mereka masing-masing dalam
mengasuh anak. So please gak usah yang namanya menjudge satu sama lain mengenai
kondisi Ibu yang tidak sesuai dengan kondisi kita. Belajarlah untuk saling
menghargai keputusan masing-masing. Jika memang seorang pakar ini itu
mengungkapkan bahwa idealnya orang tua itu seperti ini itu, ambilah yang bisa
kita lakukan dimana sesuai dengan kondisi kita saat ini, jangan langsung
mentah-mentah memutuskan sesuatu hal lantaran takut jika tidak sesuai dengan
yang diungkapkan pakar itu, kita akan gagal mengasuh anak kita. Jika ada suatu
hal yang baru, jangan cepat menggebu-gebu untuk mempraktekanya secara
keseluruhan. Kan bisa diskusi sama suami, sama orang tua, kira-kira bagaimana
jika seperti ini jika seperti itu.
Selain
itu juga jangan mudah panik menerima sesuatu yang baru. Aduh, saya nyesel
selama ini bilang jangan sama anak. Saya malah marahin anak saya, padahal itu
akan mematikan kepercayaan dirinya. Memang betul jika sebaiknya kita memberikan
terbaik untuk anak-anak. Tapi ada kalanya anak harus difahamkan dengan
konsekuensi, dimana segala sesuatu yang dilakukan memiliki dampak dari apa yang
dilakukan. Maka bolehlah sesekali tegas atau marah dengan anak agar anak
belajar menghargai dan memahami. Sesuaikan juga konteksnya dengan agama kita.
Saya sebagai muslim contohnya mengajarkan anak tentang kewajiban menjalankan
solat lima waktu. Apabila sudah pada usia baligh anak tidak menjalankan
kewajiban tersebut, saya berhak mengajarkan konsekuensi tentang panasnya api
neraka tidak seberapa dengan pukulan (yang sesuai dengan kriteria Rasul) yang
diberikan orang tua saat anak tidak salat. Apakah anak trauma setelah
itu?apakah digolongkan kepada kekerasan pada anak? Kalo mau lebih jelas, anda
bisa membaca buku-buku karya Psikolog Muslim ternama yaitu Prof.Malik Badri
agar kita lebih bijak mengambil ilmu psikologi dari Barat. Biar pada penasaran
hehehee...selain itu, kita banyak menemukan beberapa perintah dan larangan
dalam Al-Qur`an lantas kenapa juga kata-kata jangan itu harus dihindari? Saya pernah
MOU dengan Psikologi IIUM Malaysia. Saat itu saya bertanya mengenai apakah
kata-kata jangan itu benar-benar harus dihindari saat menegur anak? Pertanyaan
saya itu dijawab bijak oleh salah satu mahasiswa IIUM. Setiap anak memiliki
karakter yang berbeda-beda. Maka ada anak yang termotivasi melalui larangan,
ada juga anak yang termotivasi melalui kata seruan. Semua ada porsinya. Jawaban
yang cerdas, saya jadi semangat mempelajari psikologi Islam saat itu...
Kepanikan
lainya adalah ketika seorang pakar mengajurkan untuk tidak menitipkan anak pada
orang lain. Anak-anak adalah tanggung jawab orang tuanya sendiri. Ibu masih
bisa kok bekerja jika anak sudah berusia 8 tahun. La kalo semisal anak pertama
sudah 8 tahun, sementara anak kedua ketiga keempat belum 8 tahun gimana? Toh
jika ada negara yang menganjurkan seperti itu kita lihat juga apakah kondisi
negara tersebut sesuai dengan negara kita. Negara kita adalah negara yang
berkembang tidak bisa disamakan dengan negara maju yang mungkin sudah menjamin
kehidupan bangsanya dengan memberikan fasitlitas terbaik yang diberikan gratis
oleh pemerintah, seperti sekolah gratis, rumah gratis, dll. Itu hanya gambaran
besarnya saja, selanjutnya bisa anda amati sendiri. Terus kalo memang orang tua
kita atau nenek kakeknya si cucu sangat ingin mengasuh anak kita daripada harus
dititipkan oleh pembantu misal, karena si Ibu harus bekerja untuk memenuhi
kebutuhan si anak? Si Ibu ini kan juga bagian dari ikhtiar untuk memnuhi
kebutuhan anak? Salahkah? Kembali ke pribadi dan kondisi masing-masing.
Sebetulanya membangun bonding atau ikatan pada anak itu gak bisa ditentukan
dengan kondisi ibu bekerja atau tidak. Karena apa? Karena bonding terbentuk
dari kualitas ibu memberikan perhatian sepenuhnya pada anak. Contoh walau si
ibu bekerja, tapi ibu tetap punya quality time sama anak untuk saling sharing,
ibu walau kerja tidak pernah melewatkan untuk memasak makanan untuk anak-anaknya.
Tuh, dengan hal terkecil aja seperti memasak, ibu bekerja masih bisa membangun
kelekatan dengan anak, karena nantinya anak jadi selalu dekat dengan ibu agar
bisa merasakan masakan ibu. Terlebih ibu rumah tangga tentunya akan banyak bisa
memberikan quality time dengan anak. Nah, kalo gini semua profesi ibu baik full
house mom atau carrier mom masing-masing bisa sukses kan membangun bonding pada
anak?
Lalu
ada lagi fenomena nggumunan ketika Musa hafidz cilik bisa hafal Al-Qur`an, si
Joey si pianist cilik yang masuk Grammy award. Lantas semua ibu menggebu-nggebu
ingin anaknya seperti mereka. Setau saya para orang tuanya pun sangat konsisten
menstimulus anaknya untuk bisa seperti itu bahkan sejak dalam kandungan.
Percuma saja jika menggebu-gebu diawal lalu berakhir dengan panas-panas tai
ayam. Tenangkan diri, kenali potensi si anak, kira-kira kemampuan ingatanya
kuat gak untuk menghafal. Toh kata dosen saya anak tidak harus dipaksa jadi
hafidz Quran, yang terpenting adalah bagaimana akhlaknya bisa sesuai dengan
ayat-ayat Al-Quran. Bukan hafal semata namun juga memahami kandungan yang ada
sehingga bisa diterapkan dalam perilakunya. Iya kan?
Sudahlah
ya, kita berakhir kesimpulan. Terlalu panjang nih argumenya, maafkan hihihi...
intinya adalah kita harus bijak menerima sesuatu yang baru. Pertimbangkan
diskusikan. Jangan pula menjduge orang tua kita sendiri memiliki pola asuh yang
salah kepada kita. Everything happen for a reason. Kita bersyukur sudah
dibesarkan sedemikian ini dan berterimakasihlah kepada orang tua sebaik dan
seburuk apapun yang mereka berikan kepada kita, karena merekalah kita ada
disini. Ambil baiknya dan Fokus pada diri kita masing-masing. Zaman yang serba banyak tantangan ini orang
tuanya akan sukses mendidik anak jika dilakukan dengan basis komunitas atau
kelompok. Kalo egois pengenya bener sendiri,paling oke sendiri, ke laut aja deh
. sudah gak zaman. Waktunya kita adalah saling mensupport satu sama lain.
Saling memberikan masukan positif, bukan malah menjatuhkan atau memicingkan
sebelah mata kepada mereka yang diberikan kondisi yang berbeda dengan kita.
Mari bersama-sama mendidik generasi penerus bangsa dengan kebersamaan dan
keihklasan. Amin......
Assalamualaikum.
ReplyDeleteMbak, meninggalkan jejak dulu ah..
aku juga dulu suka gumunan, terutama gumun sama anak-anak yang jmasih kecil sudah jago, tapi semakin kesini dan ditambah ilmu di matrikulasi semakin mantep kalau anak punya bibit bakat masing-masing, tidak perlu digegas.