Seorang lelaki berumur + 35 tahun datang memasuki panggung
acara dengan penampilan celana jeans, sepatu kets, kaos berwarna biru muda, dan
topi putih menutupi kepalanya. Sosok pribadi yang sederhana itu rupanya sedang
dinanti-nanti oleh ratusan orang yang memenuhi auditorium Rumah sakit Mata
Sumatra Selatan demi menyaksikan kedatanganya di kota Palembang ini. Ya, ini
kedua kalinya saya bertemu dengan bang Darwis Tere Liye. Seorang penulis yang
sudah menerbitkan lebih dari 20 hasil karyanya dan tersebar diseluruh belahan
nusantara.
Bang Tere, sebagai sapaan akrabnya, memulai pembicaraan dengan
sebuah cerita. Alkisah diceritakan 3 orang sahabat yang sama-sama mengambil
jurusan kedokteran di universitas terkemuka di Indonesia. Mereka tinggal di kos
yang sama, kelas yang sama, hingga mereka meraih gelar dokter pada waktu yang
sama. Setelah 5 tahun lamanya kebersamaan yang mereka jalin, tiba saatnya
mereka untuk mengabdikan diri dan
mengamalkan ilmu ke kampung halaman mereka masing-masing. Si gadis A kembali ke
kampung halamanya di Sumatra, si gadis B kembali ke salah satu kota di
Sulawesi, dan si gadis C yang kembali di salah satu daerah di pulau Jawa. Saat
berpisah, mereka bertiga memiliki suatu janji. Kelak beberapa tahun yang akan
datang, setelah masing-masing sudah menjalani bahtera rumah tangga, mereka akan
bertemu kembali untuk melepas kerinduan. Mereka akan menceritakan siapakah
diantara mereka yang merawat pasien paling banyak, dan itu akan menjadi
kebanggaan tersendiri bagi mereka yang berprofesi sebagai seorang dokter.
Setelah 10 tahun lamanya akhirnya mereka memutuskan untuk bertemu di
suatu tempat yang mereka janjikan. Ini adalah saatnya ketiganya menceritakan
kuseksesan mereka sebagai seorang dokter. Si gadis A mulai bercerita, bahwa
dengan pemahaman ilmunya yang sangat baik, ia dapat mendirikan klinik pribadi
di kotanya. Kliniknya tidak pernah sepi dari pasien. Semua warga
berbondong-bondong untuk berobat kepadanya, bahkan ia memberikan pengobatan
gratis bagi warga yang kurang mampu. Selama kurang lebih 10 tahun ini, hampir
1.500 pasien yang sudah ditanganinya. Jumlah yang tentunya membanggakan
baginya. Lalu si gadis B menceritakan pengalaman pribadinya. Berbekal pengalaman
organisasi yang ia geluti selama di bangku kuliah, hatinya tergerak untuk menjadi
sukarelawan bencana alam yang terjadi pada beberapa tempat di Indonesia. Setiap
tahunya, ia disibukan dengan membantu para korban bencana alam di seluruh
belahan nusantara. Hingga total pasien yang ia tangani sudah melebihi 1.600
pasien. Suatu prestasi yang luar biasa tentunya. Kedua sahabatnya berdecak
kagum atas prestasi yang ia raih. Kemudian si gadis C mulai menceritakan pengalamanya
selama 10 tahun ini. Awalnya ia merasa malu karena prestasi yang ia raih tidak
sehebat dari kedua sahabatnya.
Disaat kedua sahabatnya memiliki kesempatan besar untuk mengamalkan
ilmunya pada masyarakat, justru diawal kariernya Allah memberikanya berbagai
macam ujian. Ibunya sakit keras dan perlu perawatan intens. Lantaran si gadis C
merupakan anak satu-satunya yang berkarier di bidang kedokteran, ibunya hanya
ingin dirawat oleh anaknya sendiri. Akhirnya ia tidak memiliki kesempatan untuk
membuka praktek seperti layaknya dokter yang lain. Ketika si ibu pulih, Allah
memberikan ujian dengan penyakit suaminya yang tak kunjung sembuh. Ia harus
merawat suaminya seperti ia dulu merawat ibunya. Hingga akhirnya waktunya banyak
ia habiskan hanya untuk merawat ibu dan suaminya
hingga beberapa tahun lamanya. Ada rasa kesal dan kecewa kenapa semua ini
terjadi pada dirinya. Kedua sahabatnyapun amat sangat menyayangkanya. Namun,
rupanya ia belum selesai bercerita. Selama si gadis C menghabiskan waktu untuk
merawat ibu dan suaminya, ternyata ia tidak pernah luput untuk menulis hasil
pengalaman medisnya yang ia tuangkan kedalam blog. Ia menulis berbagai macam
tips dan resep untuk mengobati segala macam penyakit dan bagaimana merawat
anak. Ia tak berhenti berkarya dengan segala kondisi keterbatasan yang ia alami
saat ini. Ia tulis semua hasil pengalamanya ketika merawat ibu dan suaminya,
bahkan pengalaman-pengalamanya selama ia mengasuh anak. Hingga pada akhirnya
seorang blog walker meliriknya dan meminta si C untuk membuat buku. Selang beberapa
bulan, diterbitkanlah buku si C tersebut dan rupanya bukunya menjadi buku
terlaris hingga tercetak lebih dari beberapa ribu eksempelar. Seketika kedua
sahabatnya terkejut dan tidak menyangka sebelumnya. Ternyata dialah yang
menulis beberapa buku yang sering mereka jadikan referensi selama berkarier. Tidak
dipungkiri lagi, justru si C lah yang paling banyak mengobati pasien melalui
buku-buku yang ia tulis. Allah maha adil bukan?
Sebenarnya, hakikat dari menulis adalah segala sesuatu yang kita
alami maupun kita miliki dituangkan pada sebuah tulisan yang nantinya akan
bermanfaat bagi banyak orang. Itulah mengapa setiap cerita memberikan nuansa yang
berbeda-beda, karena setiap orang memiliki persepsi masing-masing dan
pengalaman yang tidak serupa. Inspirasi menulispun bisa muncul dari mana saja. Bahkan
hal yang selama ini banyak terabaikan orangpun, bisa menjadi sumber inspirasi
dalam menulis. Prinsipnya hanya satu, lakukanlah yang terbaik, maka kesuksesan
akan datang dengan sendirinya.
Menulis bukan semata berorientasi pada tulisan yang dipublikasikan
lalu menjadi buku. Atau menulis hanya sekedar untuk menjadi terkenal. Menulis merupakan
proses dimana si penulis memiliki beribu-ribu motivasi terbaik. Maka apabila
salah satunya tumbang, ia masih memiliki motivasi yang lain untuk terus
menulis. Kenapa harus seperti itu? Karena tidak pernah lahir seorang penulis
dalam satu malam, diperlukan proses untuk selalu konsisten dan seberapa
produktifkah kita dalam menulis. Tidak masalah nantinya akan menjadi pajangan
semata, atau Tuhan berkehendak lain untuk membuat tulisanmu menjadi sebuah
buku. Walaupun sejatinya banyak orang yang ingin tulisanya bisa dibaca oleh
semua orang. Oleh karena itu, ada beberapa tips untuk penulis awal yang
bercita-cita untuk membuat buku, namun masih bingung ingin menulis apa,:
Pertama, belajar untuk konsisten menulis. Berjanjilah untuk menulis
1000 kata perhari secara terus menerus hingga hari ke 180.
Kedua, pilah-pilih hasil tulisanmu yang berjumlah 180 itu dengan
mengolompokanya berdasarkan tema yang sama.
Ketiga, tema yang sekiranya paling banyak kita tulis itulah yang
nantinya kita olah untuk diajukan pada penerbit.
Keempat, nikmati saja prosesnya. Penulis setenar Tere Liye saja
memiliki beribu tulisan yang tidak ia terbitkan, dan akhirnya hanya sekedar
menjadi pajangan di laptopnya. Tidak ada kata menyangkan, karena esensi menulis
terdapat pada prosesnya, bukan hasilnya.
Apabila pepatah cina mengatakan, waktu terbaik menanam pohon adalah
20 tahun yang lalu, dan waktu terbaik kedua adalah hari ini. Tidak ada kata
terlambat untuk berubah lebih baik. Tidak ada kata terlambat untuk menulis. Kita
memilih untuk terlambat atau tidak sama sekali? Ballighu anni walau aayah. Sampaikan
padaku walau seayat. Tulislah segala sesuatu bermanfaat walaupun satu ayat/
kalimat. Sekian :)